MOTIV DAN MOTIVASI
Dalam bidang kemiliteran, sebelum pasukan menggempur tempat musuh yang akan ditaklukan, terlebih dahulu para pemimpin tentara mengatur strategi di pusat kemiliteran. Mereka mengatur siasat bagaimana melakukan pendekatan ke tempat musuh tersebut, memilih dan menentukan cara dan teknik menaklukannya, serta mempersiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan, dan mengatur strategi agar prosesnya efisien dan hasilnya efektif. (Suherman, dkk :4).
Begitu juga dengan belajar, untuk mencapai suatu prestasi yang diinginkan sesuai dengan hasil belajar yang telah dilakukan dengan mengatur kegiatan belajar baik di lingkungan masyarakat maupun dilingkungan sekolahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu memilih strategi tertentu agar pelaksanaan belajar yang dilakukan berjalan dengan lancar dan hasilnya optimal.
Siswa dalam belajarnya dilakukan dengan tidak memperhatikan kendala – kendala yang dihadapi dalam belajar, sehingga siswa cepat mengalami prustasi atau kegagalan dalam belajar, akibatnya mempengaruhi hasil belajar. Selain itu juga akan mempengaruhi pada diri siswa, akan mengalami kemunduran dalam minat belajar, kepercayaan diri yang menurun untuk memperbaiki kegagalan.
Dalam hal ini kegagalan belajar juga tidak di perhatikan oleh siswa, untuk bisa menanggulangi masalah – masalah dalam proses belajar dengan melakukan suatu perubahan – perubahan dalam belajar. Untuk itu diperlukan kesadaran dari diri siswa maupun lingkungan yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Seperti halnya memberikan dorongan semangat belajar, memulihkan kepercayaan diri siswa yang memiliki kemampuan berprestasi, dan yang peling penting yaitu memberikan motivasi dalam diri siswa baik yang timbul karena kesadaran dirinya betapa pentingnya belajar ataupun motivasi dari orang lain.
Paparan di atas merupakan suatu masalah yang sering terjadi dalam perkembangan siswa dalam proses belajar, dan bagaimana strategi motivasi dapat di aplikasikan dalam proses belajar untuk menghasilkan dan meningkatkan keefektifan belajar siswa
Seorang siswa tekun mempelajari buku sampai malam, tidak menghiraukan lelah dan kantuknya. Jika kita perhatikan si siswa dan si petani itu, timbul pertanyaan pada diri kita : Mengapa mereka lakukan atau bekerja seperti itu ? atau dengan kata lain : Apakah yang mendorong mereka untuk berbuat demikian? Atau : Apakah motif mereka itu?
Dari contoh di atas jelas bahwa yang dimaksud dengan motif ialah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu. Apa saja yang yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya.
Juga dalam soal belajar, motifasi itu sangat penting. Motivasi adalah syarat mutlak untuk belajar. Di sekolahan seringkali terdapat anak yang malas, tidak menyenangkan, suka membolos, dan sebagainya. Dalam hal demikian berarti bahwa guru tidak berhasil memberikan motifasi yang tepat untuk mendorong agar ia bekerja dengan segenap tenaga dan pikirannya.
Benyak bakat anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semua tidak terduga. (Purwanto, 2002 : 60-61.
untuk itu kita perlu memahami apa itu motif dan motivasi
Motivasi ialah suatu proses untuk menggalakkan sesuatu tingkah laku supaya dapat mencapai matlumat-matlumat yang tertentu. Konsep motivasi memang susah difahami kerana kesannya tidak dapat diketahui secara langsung. Seseorang guru terpaksa melibatkan proses berbagai motif kelakuan seseorang yang diukur dari segi perubahan, keinginan, keperluan dan matlamatnya.).
Motivasi masih sukar diukur akan kelakuan itu tidak hanya disebabkan oleh sesuatu motif atau desakan sahaja, tetapi ada faktor-faktor yang membuatkan seseorang itu terdorong untuk berbuat sesuatu.
Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau menyelakan perasaan tidak suka itu. (Sudirman, 2001:73).
Istilah ”motif” dan ”motivasi” keduanya sukar dibedakan secara tegas. Dijelaskan bahwa motif menunjukan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi adalah ” pendorongan” suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. (Purwanto, 2002: 71).
Sesuatu organisme yang dimotivasi akan terjun dalam suatu aktivitas secara lebih giat dan lebih efisien dari pada yang tanpa dimotivasi. Motivasi hanya mempertanggungjawabkan penguatan aspek-aspek perilaku, dan bahwa mekanisme lainya ( yaitu belajar, dan kognisi) berlaku untuk mengarahkan prilaku. (Taufiq, 1996:5).
Motivasi mengandung tiga komponen pokok, yaitu menggerakan, mengarahkan, dan menopang tingkah laku manusia.
a. Menggerakan berarti menimbulkan kekuatan pada individu, memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu. Misalnya kekuatan dalam hal ingatan, respon-respon efektif, dan kecenderungan mendapat kan kesenangan.
b. Mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku. Dengan demikian ia menyediakan suatu orientasi tujuan. Tingkah laku individu diarahkan terhadap sesuatu.
c. Untuk menjaga atau menopang tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan intensitas dan arah dorongan – dorongan dan kekuatan – kekuatan individu.
Motifasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan – kekuatan yang kompleks, dorongan – dorongan, kebutuhan – kebutuhan, pernyataan – pernyataan, atau mekanisme – mekanisme lainnya yang memulai dan menjaga kegiatan – kegiatan yang inginkan ke arah penciptaan tujuan – tujuan personal. (Purwanto, 2002 :72)
Dalam bidang kemiliteran, sebelum pasukan menggempur tempat musuh yang akan ditaklukan, terlebih dahulu para pemimpin tentara mengatur strategi di pusat kemiliteran. Mereka mengatur siasat bagaimana melakukan pendekatan ke tempat musuh tersebut, memilih dan menentukan cara dan teknik menaklukannya, serta mempersiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan, dan mengatur strategi agar prosesnya efisien dan hasilnya efektif. (Suherman, dkk :4).
Begitu juga dengan belajar, untuk mencapai suatu prestasi yang diinginkan sesuai dengan hasil belajar yang telah dilakukan dengan mengatur kegiatan belajar baik di lingkungan masyarakat maupun dilingkungan sekolahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu memilih strategi tertentu agar pelaksanaan belajar yang dilakukan berjalan dengan lancar dan hasilnya optimal.
Siswa dalam belajarnya dilakukan dengan tidak memperhatikan kendala – kendala yang dihadapi dalam belajar, sehingga siswa cepat mengalami prustasi atau kegagalan dalam belajar, akibatnya mempengaruhi hasil belajar. Selain itu juga akan mempengaruhi pada diri siswa, akan mengalami kemunduran dalam minat belajar, kepercayaan diri yang menurun untuk memperbaiki kegagalan.
Dalam hal ini kegagalan belajar juga tidak di perhatikan oleh siswa, untuk bisa menanggulangi masalah – masalah dalam proses belajar dengan melakukan suatu perubahan – perubahan dalam belajar. Untuk itu diperlukan kesadaran dari diri siswa maupun lingkungan yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Seperti halnya memberikan dorongan semangat belajar, memulihkan kepercayaan diri siswa yang memiliki kemampuan berprestasi, dan yang peling penting yaitu memberikan motivasi dalam diri siswa baik yang timbul karena kesadaran dirinya betapa pentingnya belajar ataupun motivasi dari orang lain.
Paparan di atas merupakan suatu masalah yang sering terjadi dalam perkembangan siswa dalam proses belajar, dan bagaimana strategi motivasi dapat di aplikasikan dalam proses belajar untuk menghasilkan dan meningkatkan keefektifan belajar siswa
Seorang siswa tekun mempelajari buku sampai malam, tidak menghiraukan lelah dan kantuknya. Jika kita perhatikan si siswa dan si petani itu, timbul pertanyaan pada diri kita : Mengapa mereka lakukan atau bekerja seperti itu ? atau dengan kata lain : Apakah yang mendorong mereka untuk berbuat demikian? Atau : Apakah motif mereka itu?
Dari contoh di atas jelas bahwa yang dimaksud dengan motif ialah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu. Apa saja yang yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya.
Juga dalam soal belajar, motifasi itu sangat penting. Motivasi adalah syarat mutlak untuk belajar. Di sekolahan seringkali terdapat anak yang malas, tidak menyenangkan, suka membolos, dan sebagainya. Dalam hal demikian berarti bahwa guru tidak berhasil memberikan motifasi yang tepat untuk mendorong agar ia bekerja dengan segenap tenaga dan pikirannya.
Benyak bakat anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semua tidak terduga. (Purwanto, 2002 : 60-61.
untuk itu kita perlu memahami apa itu motif dan motivasi
Motivasi ialah suatu proses untuk menggalakkan sesuatu tingkah laku supaya dapat mencapai matlumat-matlumat yang tertentu. Konsep motivasi memang susah difahami kerana kesannya tidak dapat diketahui secara langsung. Seseorang guru terpaksa melibatkan proses berbagai motif kelakuan seseorang yang diukur dari segi perubahan, keinginan, keperluan dan matlamatnya.).
Motivasi masih sukar diukur akan kelakuan itu tidak hanya disebabkan oleh sesuatu motif atau desakan sahaja, tetapi ada faktor-faktor yang membuatkan seseorang itu terdorong untuk berbuat sesuatu.
Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau menyelakan perasaan tidak suka itu. (Sudirman, 2001:73).
Istilah ”motif” dan ”motivasi” keduanya sukar dibedakan secara tegas. Dijelaskan bahwa motif menunjukan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi adalah ” pendorongan” suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. (Purwanto, 2002: 71).
Sesuatu organisme yang dimotivasi akan terjun dalam suatu aktivitas secara lebih giat dan lebih efisien dari pada yang tanpa dimotivasi. Motivasi hanya mempertanggungjawabkan penguatan aspek-aspek perilaku, dan bahwa mekanisme lainya ( yaitu belajar, dan kognisi) berlaku untuk mengarahkan prilaku. (Taufiq, 1996:5).
Motivasi mengandung tiga komponen pokok, yaitu menggerakan, mengarahkan, dan menopang tingkah laku manusia.
a. Menggerakan berarti menimbulkan kekuatan pada individu, memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu. Misalnya kekuatan dalam hal ingatan, respon-respon efektif, dan kecenderungan mendapat kan kesenangan.
b. Mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku. Dengan demikian ia menyediakan suatu orientasi tujuan. Tingkah laku individu diarahkan terhadap sesuatu.
c. Untuk menjaga atau menopang tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan intensitas dan arah dorongan – dorongan dan kekuatan – kekuatan individu.
Motifasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan – kekuatan yang kompleks, dorongan – dorongan, kebutuhan – kebutuhan, pernyataan – pernyataan, atau mekanisme – mekanisme lainnya yang memulai dan menjaga kegiatan – kegiatan yang inginkan ke arah penciptaan tujuan – tujuan personal. (Purwanto, 2002 :72)
Jenis/Macam Tipe Pola Asuh Orangtua Pada Anak & Cara Mendidik/Mengasuh Anak Yang Baik
Setiap orang umumnya akan menikah dan memiliki anak. Anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga dan kita didik sedemikian rupa agar setelah mereka besar dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara serta dapar membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan kasih sayang.
A. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak :
1. Pola asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga
bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
2. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
3. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.
Anaka yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
4. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya.
Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
B. Beberapa Tips Cara Mendidik Anak Kita Yang Baik :
1. Baik ibu dan ayah harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plin-plan dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.
2. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain.
3. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Polas asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri.
4. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak.
5. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia.
6. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan.
7. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
Setiap orang umumnya akan menikah dan memiliki anak. Anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga dan kita didik sedemikian rupa agar setelah mereka besar dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara serta dapar membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan kasih sayang.
A. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak :
1. Pola asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga
bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
2. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
3. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.
Anaka yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
4. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya.
Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
B. Beberapa Tips Cara Mendidik Anak Kita Yang Baik :
1. Baik ibu dan ayah harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plin-plan dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.
2. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain.
3. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Polas asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri.
4. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak.
5. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia.
6. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan.
7. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
Pendidikan Indonesia harus punya nilai pragmatis
J O H N D E W E Y
1859 – 1952
PRAGMATISME : FILSAFAT BERTINDAK
A. Pengantar
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: bahwa teori pragmatis tentang kebenaran atau suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut). Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Eksperimentalisme John Dewey
Pemahaman terhadap dewey menjadi jelas jika menelusuri pandangannya mengenai pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan. John Dewey dianggap seorang empiris karena baginya, pemikiran harus berpijak pada penggalaman (experience), dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Jadi, baginya titik tuju dan titik tolak dari pemikiran adalah pengalaman. Pada mulanya pemikiran bangkit karena adanya pengalaman (cth; yang menyulitkan) dan pada akhirnya pemekiran membuat pemecahan yang akan mempunyai akibat merubah situasi, yang berarti juga pengalaman itu selanjutnya( yang akan datang).
Konsep kunci filsafat Dewey adalah pengalaman. Filsafat harus berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan menyelidiki serta menolah pengalaman itu secara aktif kritis. Karena itu, bagi Dewey seorang filsuf harus peka akan pentingnya pengalaman. Pada awalnya Dewey tertarik pada teori pengalaman yang dikembangkan oleh kaum Hegelian, tetapi kemudian ia mengembangkan suatu teori semacam neo-empirisme. Ada 3 hal pemikiran pokok mengenai pengalaman yang menurut Dewey diabaikan oleh para pemikir idealis, yakni:
Pengalaman sangat erat kaitannya dengan proses berpikir. Karena proses berpikir pada akhirnya tertuju pada pengalaman tersebut. Gerak pemikiran manusia dibangkitkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan permasalahan di dunia sekitar kita dan gerak itu berakhir dalam berbagai perubahan. Pengalaman langsung bukanlah soal pengetahuan yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subjek dan objek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya[1]. Dalam pengalaman keduanya dipersatukan. Kalau terjadi pemisahan antara pelaku dan objek, hal itu bukan merupakan pengalaman, melainkan suatu hasil refleksi atas pengalaman tadi.
Menurut Dewey ada 2 hal yang mempengaruhi lahirnya konsep baru mengenai pengalaman dan relasinya dalam pengalaman dan penalaran. Pertama, perubahan mengenai kodrat pengalaman itu sendiri. Kedua, perkembangan suatu bidang psikologi yang berlandaskan pada biologi. Perkembangan biologi membuat segala sesuatu menjadi berubah. Prinsipnya kalau ada kehidupan pastilah ada tingkah laku dan tindakan. Namun penyesuaian diri itu bukanlah suatu hal yang pasif tetapi aktif, sebab organisme bertindak terhadap lingkungan tersebut dengan memberikan perubahan terhadapnya sesuai dengan usahanya dalam mempertahankan kehidupan dan menghadapi lingkungannya. Dalam hal ini pengalaman merupakan proses timbal balik dan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dan lingkungannya dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih baik. Bagi Dewey pengalaman adalah lingkungan yang merangsang organisme untuk memodifikasi lingkungan itu dalam hubungan timbal balik.
E. Istrumentalisme
a. Arti Instrumentalisme
John Dewey adalah seorang pragmatis namun ia lebih memilih memakai kata Instrumentalisme ketimbang istilah pragmatisme. Sebabnya ialah adanya keterlibatan dalam perdebatan mengenai pengertian Pragmatisme yang terlanjur simpang siur. Banyak filsuf terlalu mencari kaitan sejarahnya. Meskipun Dewey memakai kata Instrumentalisme, hal itu bukan berarti ia meninggalkan pragmatisme sama sekali. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa buku-bukunya tetap bernuansa pragmatisme dengan konsekuensi-konsekuensi yang berfungsi sebagai penguji amat peting bagi keabsahan proposisi-proposisi. Secara singkat pragmatisme adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide dan tindakan. Ciri tindakan adalah selalu mempunyai tujuan tertentu dan stimulus yang menariknya untuk bertindak. Oleh karena itu tindakan baru dapat dipahami dari konsekuensi praktisnya (hasilnya).
Bagi Dewey, Instrumentalisme adalah berpikir logis bergantung pada tujuan kehidupan praktis. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah hubungan dengan situasi yang ada baik alamiah maupun sosial dan kebutuhan praktis ini skelaigus mengarahkan pikiran kita. Karena itu menurut Dewey, berpikir hanyalah muncul jika dibutuhkan situasi. Misalnya: Manusia adalah manusia yang selalu bertindak. Dalam situasi tertentu tindakannya itu bisa terhambat, maka manusia itu kemudian mulaui merancang suatu pemikiran demi kebutuhan praktisnya dalam situasi tersebut. Rancangan itu adalah sesuatu yang belum terlaksana. Pemikiran tercipta karena ada stimulus yang merangsangnya.
Menurut Dewey, berpikir adalah mentransformasikan suatu situasi yang kacau – balau, situasi yang tidak menguntungkan, kegelapan, ke situasi yang lebih terang, tenang, dan harmonis. Jadi, pemikiran hanyalah sebuah alat untuk mengatasi suatu masalah atau menangani krisis dalam situasi konkret. Tugas dari pemikiran adalah menemukan alat atau sarana dalam lingkup konkret demi tujuan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Dewey tertarik pada penerapan filsafat atas persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata, rumit dan membingungkan yang dihadapi di Amerika pada waktu itu. Berhadapan dengan persoalan-persoalan ini, metode instrumentalisme menjadi efektif untuk digunakan karena metodenya memperlakukan ide-ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan praktis. Penekanan Dewey dalam metode instrumentalismenya adalah pada praktek, yakni pada keterlibatan aktual atau partisipasi aktif dimana kita belajar dengan mengerjakannya (learning by doing).
Oleh karena itu dnegan teori yang demikian, ajaran Dewey disebut instrumentalisme yang baginya merupakan teori mengenai bentuk konsepsi penalaran umum yang merupakan kekhasan dalam pemikiran untuk memperkuat konsekuensi selanjutnya. Dewey sendiri mengartikan instrumentalisme sebagai usaha menyusun teori logis mengenai konsep-konsep, keputusan-keputusan dan kesimpulan-kesimpulan dalam penentuan eksperimental bagi kensekuensi-konsekuensi selanjutnya dalam praksis.
b. Kaitan Sejarah Instrumentalisme
Instrumetalisme John Dewey (pragmatisme) sebenarnya mempunyai akar pada tokoh-tokoh filsuf yang mendahuluinya. Namun karena John Dewey adalah seorang empiris, maka filsuf-filsuf empiris Inggris justru mempunyai pengaruh yang sangta besar terhadap perkembangan pemikiran Dewey sendiri.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh pada Dewey adalah Francis Bacon. Sebagai seorang empiris, Bacon menolak ilmu pengetahuan pada masanya yang baginya ilmu pengetahuan itu tidak menyentuh realitas. Karena itu Bacon memaknai ilmu pengetahuan itu secara baru yaitu ilmu pengetahuan yang diabdikan demi kebutuhan praktis manusia. Dalam hal ini, Bacon tidak menolak secara mutlak keberadaan ilmu pengetahuan, namun yang penting baginya adalah bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna praktis bagi kehidpan manusia.
Dari sekian banyak filsuf yang turut mendukung kelahiran teori pragmatisme hanya Bacon sajalah yang diakui oleh Dewey. Bagi Dewey, Bacon adalah seorang nabi inspirator pemikiran modern. Hal ini nampak sekali dalam sumbangan pemikiran pragmatismenya. Dua sumbangan pemikiran Bacon yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Dewey adalah sebagai berikut[2]: Pertama, dalam sikap, ilmu adalah pekerjaan sosia, karena itu ilmu tidak ditatap secara lepas dari lingkup kebutuhan manusia yang praktis. Kedua, ilmu bukan renungan mendalamseorang individu belaka, akan tetapi lebih merupakan pekerjaan sosial yang didalamnya sekelompok orang turut berpartisipasi dan terikat dalam satu tujan tertentu.
E. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
1. Konsep dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experinence), pertumbuhan (Growth), eksperimen ( experiment) dna transaksi (trnsaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang didalamnya perbedaan-perbedaan filosofi menjadi konkrit dan tahan uji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikann kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, dimana pendidikan didefenisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam pedagogi Creed, Dewey (1897) mendefenisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefenisikan pendidikan sebagai penuntun secara inteligensia terhadap perkembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalaman.
Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran diatas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yaitu dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk menformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) dimana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekana khusus dalam pemikiran Dewey dan menentukan pandangan keduanya , anak di sekolah dan sekolah di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tadisional. Yang dapat dijelaskan disini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada di luar anak, apakah itu guru, buku, teks dan lain-lain. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan dimana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkunga. Hasilnya pokok persoalan terisolasi dari anak dan hubungan pribadi menjadi formal, simbolik, statis, mati. Sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan untuk instruksi masal dan selanjutnya terpisah dari hidup.
Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, dari langkah ke langkah, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan disini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh kosekuensi-konsekuensi. Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk mencapai warga negara, kejujuran; mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam hidupnya. Namun pemikiran ini hanya bisa diberlakukan dengan asumsi bahwa ketrampilan yang di pelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah
2. Sumbangan pemikiran Dewey Terhadap Pendidikan.
Apresiasi dan sumbangan pemikirannya tidak dapat dipungkiri terlah berdampak luas. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah ke arah konsep pembelajaran yang lebih manusiawi. Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat pendidikan pada anak dan berproses dalam pengalamannya. Kurnag lebih ada tiga sumbanga pemikirannya dalam pendidikan:
a. Dewey melahirkan konsep baru tentang kesosialan pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya olen banyak penulis desebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat; bahwa pendidikan harus terefleksikan dalam menajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Akhirnya proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerja sama dan timbal balik menggeser suasana kompetensi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan.
b. Dewey memberikan bentuk baru terhadap konsep keberpusatan pada anak. Dalam hal ini pemikiran Dewey berdasar pada landasan-lndasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula pada sebuah penelitiannya tentang anak menjadi lebih meyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentrimental
c. Proyek dan problem solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam tekhnik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberi kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian. Deweylah yang telah membawa orang menjadi tetarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan.
Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai sebagi suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luas sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan mesyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.
2. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
3. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama. Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutanpikiran dan benda.
F. Tolak Ukur Penilaian Moral
a. tindakan yang dinilai baik
dalam teori nilai moral tradisional, suatu tindakan dinilai baik jika dapat menunjang pencapaian tujuan akhir (nilai final) sebagai kebaikan tertinggi yang dicita-citakan. Bagi Dewey, teori tersebut terlalau menyibukkan diri dan berkutat dengan spekulasi tentang tujuan akhir dan standar terakhir untuk menentukan benar salah, baik buruk perilaku manusia. Spekulasi tsb didasarkan pada kepercayaan akan adanya finalitas dari segala sesuatu.
Dengan mengkritik spekulasi tentan tujuan akhir tersebut, Dewey mengusulkan apa yang disebut sebagai ”tujuan-tujuan yang dibanyangkan atau direncanakan untuknya ”ends-in-view)”. Tujuan tersebut ditentukan setiap kali ada sesuatu yang harus dilakukan.
Menurut Dewey, nilai suatu tujuan banyak ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mencapainya. Ia mengkritik terori moral tradisional yang menilai baik buruknya perilaku manusia berdasar tujuan akhir yang sudah tetap dan baku, cenderung membuat orang tidak kritis dan kreatip untuk melihat kemungkinan adanya tujuan dan nilai baru.
Bagi Dewey, memahami tujuan dan kebaikan moral sebagai ends-in- view berarti tidak hanya membuat orang lebih sadar dalam bertindak, kritis dan terbuka terhadap kemungkinan kemungkinan baru, tetapi juga membuak peniulaian terhadap perilaku seseorang tidak kejam. Alasan karena situasi kongkrit yang mengkondisikan si pelaku moral ikut dipertimbangkan.
Gagasan tentang ends-in-view tersebut didasarkan atas paham pemikirannya yang ia sebut ”naturalisme empiris”. Dalam pandangan tersebut, manusia manusia digambarkan sebagai organisme yang berinteraksi secara internal dengan lingkungannya. Hidup merupakan proses interaksi dengan alam yang terus berubah. Demikian pula dengan proses interaksiyang terus bewrubah, berkembang dan diperkaya. Ends-in-view itu terbentuk sebagai realisasi dari interaksi tersebut.
Suatu ends-in-view selalu dilihat dalam perspekrif sosial- histori tertentu dan terbuka terhadap perkembangan selanjutnya. Hal ini karena ends-in-view merupakan suatu keseimbangan yang bergerak.
Jadi ada 3 poin yang dapat disimpulkan
1. baik buruknya suatu tindakan secara moral tidak tapat dipuituskan secara apriori lepas dari situasi kongkret yang melingkupi tindakan tersebut.
2. baik buruknya suatu tindakan perlu dinilai dan diputuskan berdasarkan akibat-akibat tindakan tersebut sebagaimana diproyeksikan dalan ends-in view dalam konteks permasalahan yang dihadapi.
3. baik buruknya suatu tindakan tergantung dan apakah tindakan itu bisa mencapai ends-in-view dalam deliberasi moral atau tidak. Tindakan dinilai baik apabila dapat dikenali dari akibat tindakan itu dan kenyataan kongkret yang dialami sebagai pemuasan kebutuhan nyata, perbaikan keadaaan yang menunjang pertumbuhan.
b. Perbuatan Yang Baik Berarti Harus Menunjang Proses Perwujudan Diri Manusia Sebagai Manusia.
Suatu tindakan dinilai menunjang perkembangan dan perwujudan diri kalau tindakan itu mewujudkan ends-in-view. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dipikirkan masak-masak, serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya bagi diri sendiri dan orang lain.
Dewey juga ber pendapat bahwa setiap orang perlu memupuk rasa tertarik pada hal-hal yang menunjang kesejahteraan umum sebagai hal yang patas diinginkan bagi perkembangan dan perwujudan dirinya sebagai manusia dan tidak melakukan sesuatu untuk orang lain melulu karena kewajiban.
G. Kritik Terhadap Pemikiran Dewey
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alatuntuk memedcahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berlaitan dengan kehidupan kongkret.
2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikan maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menurus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa amenjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
3. Pendidikan
Dewey menwkankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknyadisesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajarn pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangklaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakannitu baik atau tidak.
F. Tinjauan Kritis
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi. Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
J O H N D E W E Y
1859 – 1952
PRAGMATISME : FILSAFAT BERTINDAK
A. Pengantar
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: bahwa teori pragmatis tentang kebenaran atau suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut). Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Eksperimentalisme John Dewey
Pemahaman terhadap dewey menjadi jelas jika menelusuri pandangannya mengenai pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan. John Dewey dianggap seorang empiris karena baginya, pemikiran harus berpijak pada penggalaman (experience), dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Jadi, baginya titik tuju dan titik tolak dari pemikiran adalah pengalaman. Pada mulanya pemikiran bangkit karena adanya pengalaman (cth; yang menyulitkan) dan pada akhirnya pemekiran membuat pemecahan yang akan mempunyai akibat merubah situasi, yang berarti juga pengalaman itu selanjutnya( yang akan datang).
Konsep kunci filsafat Dewey adalah pengalaman. Filsafat harus berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan menyelidiki serta menolah pengalaman itu secara aktif kritis. Karena itu, bagi Dewey seorang filsuf harus peka akan pentingnya pengalaman. Pada awalnya Dewey tertarik pada teori pengalaman yang dikembangkan oleh kaum Hegelian, tetapi kemudian ia mengembangkan suatu teori semacam neo-empirisme. Ada 3 hal pemikiran pokok mengenai pengalaman yang menurut Dewey diabaikan oleh para pemikir idealis, yakni:
- Pengabaian terhadap pengalaman bertindak.
- penolakannya terhadap gagasan mengenai suatu hal yang merupakan kesatuan yang menyeluruh.
- anggapannya bahwa kaum Hegelian dan idealis mengenai kodrat alam yang terlalu mengeneralisasikan sehingga menuntun pada proyeksi kosmis yang keliru.
Pengalaman sangat erat kaitannya dengan proses berpikir. Karena proses berpikir pada akhirnya tertuju pada pengalaman tersebut. Gerak pemikiran manusia dibangkitkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan permasalahan di dunia sekitar kita dan gerak itu berakhir dalam berbagai perubahan. Pengalaman langsung bukanlah soal pengetahuan yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subjek dan objek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya[1]. Dalam pengalaman keduanya dipersatukan. Kalau terjadi pemisahan antara pelaku dan objek, hal itu bukan merupakan pengalaman, melainkan suatu hasil refleksi atas pengalaman tadi.
Menurut Dewey ada 2 hal yang mempengaruhi lahirnya konsep baru mengenai pengalaman dan relasinya dalam pengalaman dan penalaran. Pertama, perubahan mengenai kodrat pengalaman itu sendiri. Kedua, perkembangan suatu bidang psikologi yang berlandaskan pada biologi. Perkembangan biologi membuat segala sesuatu menjadi berubah. Prinsipnya kalau ada kehidupan pastilah ada tingkah laku dan tindakan. Namun penyesuaian diri itu bukanlah suatu hal yang pasif tetapi aktif, sebab organisme bertindak terhadap lingkungan tersebut dengan memberikan perubahan terhadapnya sesuai dengan usahanya dalam mempertahankan kehidupan dan menghadapi lingkungannya. Dalam hal ini pengalaman merupakan proses timbal balik dan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dan lingkungannya dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih baik. Bagi Dewey pengalaman adalah lingkungan yang merangsang organisme untuk memodifikasi lingkungan itu dalam hubungan timbal balik.
E. Istrumentalisme
a. Arti Instrumentalisme
John Dewey adalah seorang pragmatis namun ia lebih memilih memakai kata Instrumentalisme ketimbang istilah pragmatisme. Sebabnya ialah adanya keterlibatan dalam perdebatan mengenai pengertian Pragmatisme yang terlanjur simpang siur. Banyak filsuf terlalu mencari kaitan sejarahnya. Meskipun Dewey memakai kata Instrumentalisme, hal itu bukan berarti ia meninggalkan pragmatisme sama sekali. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa buku-bukunya tetap bernuansa pragmatisme dengan konsekuensi-konsekuensi yang berfungsi sebagai penguji amat peting bagi keabsahan proposisi-proposisi. Secara singkat pragmatisme adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide dan tindakan. Ciri tindakan adalah selalu mempunyai tujuan tertentu dan stimulus yang menariknya untuk bertindak. Oleh karena itu tindakan baru dapat dipahami dari konsekuensi praktisnya (hasilnya).
Bagi Dewey, Instrumentalisme adalah berpikir logis bergantung pada tujuan kehidupan praktis. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah hubungan dengan situasi yang ada baik alamiah maupun sosial dan kebutuhan praktis ini skelaigus mengarahkan pikiran kita. Karena itu menurut Dewey, berpikir hanyalah muncul jika dibutuhkan situasi. Misalnya: Manusia adalah manusia yang selalu bertindak. Dalam situasi tertentu tindakannya itu bisa terhambat, maka manusia itu kemudian mulaui merancang suatu pemikiran demi kebutuhan praktisnya dalam situasi tersebut. Rancangan itu adalah sesuatu yang belum terlaksana. Pemikiran tercipta karena ada stimulus yang merangsangnya.
Menurut Dewey, berpikir adalah mentransformasikan suatu situasi yang kacau – balau, situasi yang tidak menguntungkan, kegelapan, ke situasi yang lebih terang, tenang, dan harmonis. Jadi, pemikiran hanyalah sebuah alat untuk mengatasi suatu masalah atau menangani krisis dalam situasi konkret. Tugas dari pemikiran adalah menemukan alat atau sarana dalam lingkup konkret demi tujuan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Dewey tertarik pada penerapan filsafat atas persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata, rumit dan membingungkan yang dihadapi di Amerika pada waktu itu. Berhadapan dengan persoalan-persoalan ini, metode instrumentalisme menjadi efektif untuk digunakan karena metodenya memperlakukan ide-ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan praktis. Penekanan Dewey dalam metode instrumentalismenya adalah pada praktek, yakni pada keterlibatan aktual atau partisipasi aktif dimana kita belajar dengan mengerjakannya (learning by doing).
Oleh karena itu dnegan teori yang demikian, ajaran Dewey disebut instrumentalisme yang baginya merupakan teori mengenai bentuk konsepsi penalaran umum yang merupakan kekhasan dalam pemikiran untuk memperkuat konsekuensi selanjutnya. Dewey sendiri mengartikan instrumentalisme sebagai usaha menyusun teori logis mengenai konsep-konsep, keputusan-keputusan dan kesimpulan-kesimpulan dalam penentuan eksperimental bagi kensekuensi-konsekuensi selanjutnya dalam praksis.
b. Kaitan Sejarah Instrumentalisme
Instrumetalisme John Dewey (pragmatisme) sebenarnya mempunyai akar pada tokoh-tokoh filsuf yang mendahuluinya. Namun karena John Dewey adalah seorang empiris, maka filsuf-filsuf empiris Inggris justru mempunyai pengaruh yang sangta besar terhadap perkembangan pemikiran Dewey sendiri.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh pada Dewey adalah Francis Bacon. Sebagai seorang empiris, Bacon menolak ilmu pengetahuan pada masanya yang baginya ilmu pengetahuan itu tidak menyentuh realitas. Karena itu Bacon memaknai ilmu pengetahuan itu secara baru yaitu ilmu pengetahuan yang diabdikan demi kebutuhan praktis manusia. Dalam hal ini, Bacon tidak menolak secara mutlak keberadaan ilmu pengetahuan, namun yang penting baginya adalah bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna praktis bagi kehidpan manusia.
Dari sekian banyak filsuf yang turut mendukung kelahiran teori pragmatisme hanya Bacon sajalah yang diakui oleh Dewey. Bagi Dewey, Bacon adalah seorang nabi inspirator pemikiran modern. Hal ini nampak sekali dalam sumbangan pemikiran pragmatismenya. Dua sumbangan pemikiran Bacon yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Dewey adalah sebagai berikut[2]: Pertama, dalam sikap, ilmu adalah pekerjaan sosia, karena itu ilmu tidak ditatap secara lepas dari lingkup kebutuhan manusia yang praktis. Kedua, ilmu bukan renungan mendalamseorang individu belaka, akan tetapi lebih merupakan pekerjaan sosial yang didalamnya sekelompok orang turut berpartisipasi dan terikat dalam satu tujan tertentu.
E. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
1. Konsep dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experinence), pertumbuhan (Growth), eksperimen ( experiment) dna transaksi (trnsaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang didalamnya perbedaan-perbedaan filosofi menjadi konkrit dan tahan uji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikann kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, dimana pendidikan didefenisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam pedagogi Creed, Dewey (1897) mendefenisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefenisikan pendidikan sebagai penuntun secara inteligensia terhadap perkembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalaman.
Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran diatas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yaitu dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk menformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) dimana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekana khusus dalam pemikiran Dewey dan menentukan pandangan keduanya , anak di sekolah dan sekolah di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tadisional. Yang dapat dijelaskan disini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada di luar anak, apakah itu guru, buku, teks dan lain-lain. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan dimana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkunga. Hasilnya pokok persoalan terisolasi dari anak dan hubungan pribadi menjadi formal, simbolik, statis, mati. Sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan untuk instruksi masal dan selanjutnya terpisah dari hidup.
Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, dari langkah ke langkah, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan disini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh kosekuensi-konsekuensi. Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk mencapai warga negara, kejujuran; mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam hidupnya. Namun pemikiran ini hanya bisa diberlakukan dengan asumsi bahwa ketrampilan yang di pelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah
2. Sumbangan pemikiran Dewey Terhadap Pendidikan.
Apresiasi dan sumbangan pemikirannya tidak dapat dipungkiri terlah berdampak luas. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah ke arah konsep pembelajaran yang lebih manusiawi. Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat pendidikan pada anak dan berproses dalam pengalamannya. Kurnag lebih ada tiga sumbanga pemikirannya dalam pendidikan:
a. Dewey melahirkan konsep baru tentang kesosialan pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya olen banyak penulis desebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat; bahwa pendidikan harus terefleksikan dalam menajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Akhirnya proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerja sama dan timbal balik menggeser suasana kompetensi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan.
b. Dewey memberikan bentuk baru terhadap konsep keberpusatan pada anak. Dalam hal ini pemikiran Dewey berdasar pada landasan-lndasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula pada sebuah penelitiannya tentang anak menjadi lebih meyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentrimental
c. Proyek dan problem solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam tekhnik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberi kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian. Deweylah yang telah membawa orang menjadi tetarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan.
Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai sebagi suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luas sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan mesyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.
2. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
3. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama. Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutanpikiran dan benda.
F. Tolak Ukur Penilaian Moral
a. tindakan yang dinilai baik
dalam teori nilai moral tradisional, suatu tindakan dinilai baik jika dapat menunjang pencapaian tujuan akhir (nilai final) sebagai kebaikan tertinggi yang dicita-citakan. Bagi Dewey, teori tersebut terlalau menyibukkan diri dan berkutat dengan spekulasi tentang tujuan akhir dan standar terakhir untuk menentukan benar salah, baik buruk perilaku manusia. Spekulasi tsb didasarkan pada kepercayaan akan adanya finalitas dari segala sesuatu.
Dengan mengkritik spekulasi tentan tujuan akhir tersebut, Dewey mengusulkan apa yang disebut sebagai ”tujuan-tujuan yang dibanyangkan atau direncanakan untuknya ”ends-in-view)”. Tujuan tersebut ditentukan setiap kali ada sesuatu yang harus dilakukan.
Menurut Dewey, nilai suatu tujuan banyak ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mencapainya. Ia mengkritik terori moral tradisional yang menilai baik buruknya perilaku manusia berdasar tujuan akhir yang sudah tetap dan baku, cenderung membuat orang tidak kritis dan kreatip untuk melihat kemungkinan adanya tujuan dan nilai baru.
Bagi Dewey, memahami tujuan dan kebaikan moral sebagai ends-in- view berarti tidak hanya membuat orang lebih sadar dalam bertindak, kritis dan terbuka terhadap kemungkinan kemungkinan baru, tetapi juga membuak peniulaian terhadap perilaku seseorang tidak kejam. Alasan karena situasi kongkrit yang mengkondisikan si pelaku moral ikut dipertimbangkan.
Gagasan tentang ends-in-view tersebut didasarkan atas paham pemikirannya yang ia sebut ”naturalisme empiris”. Dalam pandangan tersebut, manusia manusia digambarkan sebagai organisme yang berinteraksi secara internal dengan lingkungannya. Hidup merupakan proses interaksi dengan alam yang terus berubah. Demikian pula dengan proses interaksiyang terus bewrubah, berkembang dan diperkaya. Ends-in-view itu terbentuk sebagai realisasi dari interaksi tersebut.
Suatu ends-in-view selalu dilihat dalam perspekrif sosial- histori tertentu dan terbuka terhadap perkembangan selanjutnya. Hal ini karena ends-in-view merupakan suatu keseimbangan yang bergerak.
Jadi ada 3 poin yang dapat disimpulkan
1. baik buruknya suatu tindakan secara moral tidak tapat dipuituskan secara apriori lepas dari situasi kongkret yang melingkupi tindakan tersebut.
2. baik buruknya suatu tindakan perlu dinilai dan diputuskan berdasarkan akibat-akibat tindakan tersebut sebagaimana diproyeksikan dalan ends-in view dalam konteks permasalahan yang dihadapi.
3. baik buruknya suatu tindakan tergantung dan apakah tindakan itu bisa mencapai ends-in-view dalam deliberasi moral atau tidak. Tindakan dinilai baik apabila dapat dikenali dari akibat tindakan itu dan kenyataan kongkret yang dialami sebagai pemuasan kebutuhan nyata, perbaikan keadaaan yang menunjang pertumbuhan.
b. Perbuatan Yang Baik Berarti Harus Menunjang Proses Perwujudan Diri Manusia Sebagai Manusia.
Suatu tindakan dinilai menunjang perkembangan dan perwujudan diri kalau tindakan itu mewujudkan ends-in-view. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dipikirkan masak-masak, serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya bagi diri sendiri dan orang lain.
Dewey juga ber pendapat bahwa setiap orang perlu memupuk rasa tertarik pada hal-hal yang menunjang kesejahteraan umum sebagai hal yang patas diinginkan bagi perkembangan dan perwujudan dirinya sebagai manusia dan tidak melakukan sesuatu untuk orang lain melulu karena kewajiban.
G. Kritik Terhadap Pemikiran Dewey
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alatuntuk memedcahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berlaitan dengan kehidupan kongkret.
2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikan maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menurus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa amenjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
3. Pendidikan
Dewey menwkankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknyadisesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajarn pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangklaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakannitu baik atau tidak.
F. Tinjauan Kritis
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi. Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
Pragmatisme Pendidikan (Telaah Atas Pemikiran John Dewey)
Pragmatisme Pendidikan
(Telaah Atas Pemikiran John Dewey)
By: Bang Mando
A. Pendahuluan
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839 - 1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik dan pendidikan. Tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar disebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi “tentang filsafat Kant”.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884 - 1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York. Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Gagasan filosofis Dewey yang utama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam pada kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: “According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view” (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
1. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas yang membahas problem kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problem tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problem dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
E. Tinjauan Kritis
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
Pragmatisme Pendidikan
(Telaah Atas Pemikiran John Dewey)
By: Bang Mando
A. Pendahuluan
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839 - 1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik dan pendidikan. Tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar disebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi “tentang filsafat Kant”.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884 - 1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York. Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Gagasan filosofis Dewey yang utama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam pada kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: “According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view” (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
1. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas yang membahas problem kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problem tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problem dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
E. Tinjauan Kritis
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
METODE PEMBELAJARAN PAKEM
I. PENDAHULUAN
Manusia memperoleh sebagaian besar dari kemampuannya melalui belajar. Belajar adalah suatu peristiwa yang terjadi didalam kondisi-kondisi tertentu yang dapat diamati, diubah dan dikontrol (Robert M. Gagne, 1977). Kemampuan manusia yang dikembangkan melalui belajar yaitu: pertama; ketrampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, ketrampilan motorik, dan sikap.
Pendidik dituntut untuk menyediakan kondisi belajar untuk peserta didik untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu yang harus dipelajari oleh subyek didik. Dalam hal ini peranan desain pesan dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena desain pesan pembelajaran menunjuk pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola atau signal dan lambang yang dapat digunakan untuk menyediakan kondisi untuk belajar.
Awal mula kata-kata PAKEM dikembangkan dari istilah AJEL (Active Joyfull and Efective Learning). Untuk pertama kali di Indonesia pada tahun 1999 dikenal dengan istilah PEAM (Pembelajaran Efektif, Aktif dan Menyenangkan).
Namun seiring dengan perkembangan MBS di Indonesia pada tahun 2002 istilah PEAM diganti menjadi PAKEM, yaitu kependekan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.
PAKEM mengubah pembelajaran yang konvensional menjadi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menjadi guru bagi dirinya sendiri sehingga proses belajar menjadi bermakna.
II. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PAKEM
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. contoh pembelajaran aktif seperti pembelajaran berpasang-pasangan, berdiskusi, bermain peran, debat, studi kasus, terlibat aktif dalam kerja kelompok, atau membuat laporan singkat dan sebagainya. Disarankan agar guru menjadi pemandu sepanjang tahap awal pembelajaran, kemudian biarkan anak melakukan praktik keterampilan baru kemudian memberikan informasi-informasi baru yang belum diketahui siswa selama pembelajaran. Disarankan penggunaan active learning pada saat siswa telah mengenal materi sebelumnya, dan mereka telah memiliki suatu pemahaman yang baik manyangkut materi sebelumnya.
Pembelajaran Kreatif yaitu pembelajaran yang mendorong siswa untuk melakukan proses pembelajaran yang kreatif. Jerry Wennstrom (2005) mengatakan proses kreatif adalah suatu format explorasi yang berbeda dari yang lain, yaitu proses yang dihubungkan dalam pengalaman hidup dan bukan merupakan suatu model umum. Proses pembelajaran yang kreatif adalah suatu tindakan untuk penemuan terus menerus, penggalian yang mendalam dengan hati, pikiran dan semangat untuk mendapatkan keindahan dan pengalaman baru yang dapat ia rasakan. Menurut Jerry Wennstrom, proses belajar dikatakan kreatif bukan dilihat dari orang lain, namun lebih dilihat dari si-pelaku belajar sendiri. Dalam proses belajar apakah siswa telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk memperoleh keindahan dan pengalaman baru. Keindahan dan pengalaman baru tersebut hanya bisa dirasakan oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian proses kreatif antara siswa yang satu dengan yang lainnya berada pada takaran yang berbeda-beda
Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Pembelajaran yang menyenangkan ditandai dengan besarnya perhatian siswa terhadap tugas sehingga hasil belajar (tujuan pembelajaran) meningkat. Selain itu dalam jangka panjang diharapkan siswa menjadi senang belajar untuk menciptakan sikap belajar mandiri sepanjang hayat (life long learn).
Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
A. LANDASAN TEORI
landasan-landasan teori yang digunakan pada model belajar PAKEM di dalamnya pada hakekatnya adalah mengambil dari teori-teori tentang active learning atau pembelajaran aktif.
Pendekatan belajar siswa aktif sebenarnya sudah sejak lama dikembangkan. Konsep ini didasari pada keyakinan bahwa hakekat belajar adalah proses membangun makna/pemahaman, oleh si pembelajar, terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan yang dimiliki) dan perasaannya. Dengan demikian siswalah yang harus aktif untuk mencari informasi, pengalaman maupun keterampilan dalam rangka membangun sebuah makna dari hasil proses pembelajaran.
Pengertian pembelajaran aktif sedikit membingungkan. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memberikan pengertian yang berbeda-beda. Terlebih jika melihat hakekat belajar sebagaimana disebutkan di atas yaitu proses membangun makna oleh si pembelajar. Jadi mustahil siswa dikatakan belajar tetapi dia pasif sama sekali.
Barangkali istilah pembelajaran aktif di sini lebih tepat merupakan lawan dari pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional gurulah yang mendominasi semenatara pada pembelajaran aktif siswalah yang lebih banyak melakukan aktivitas belajar. Kedua pendekatan pembelajaran masih tetap ada keaktifan siswa, namun dalam kadar yang berbeda. Secara kuantitatif depdiknas pernah menetapkan dengan perbandingan 30% : 70%. Jika pendekatan konvensional (implementasi kurikulum 1994 dan sebelumnya) teknik pembelajarannya adalah 70% guru ceramah dan 30% siswa aktif melakukan kegiatan. Sedangkan pada pembelajaran aktif (imlementasi dari kurikulum 2006) teknik pembelajaran dilakukan dengan 70% siswa yang aktif melakukan kegiatan dan guru hanya 30% saja.
Pembelajaran aktif adalah suatu istilah yang memayungi beberapa model pembelajaran yang memfokuskan tanggung jawab proses pembelajaran pada si pelajar. Bonwell dan Eison ( 1991) mempopulerkan pendekatan ini ke dalam pembelajaran. Istilah active learning ini sudah dikenal pada tahun 1980-an. Kemudian pada tahun 1990-an Association for the Study of Higher Education (ASHE) memberikan laporan yang lebih lengkap tentang active learning. Dalam laporannya tersebut mereka telah mendiskusikan berbagai metode pembelajaran untuk memperkenalkan aktive learning.
Berikut pandangan dari para ahli mengenai kegiatan, siswa, dan lingkungan belajar active learning yang dipaparkan oleh Missouri Department of Elementary and Secondary Education
a. Silberman, M (1996) menggambarkan saat belajar aktif, para siswa melakukan banyak kegiatan. Mereka menggunakan otak untuk mempelajari ide-ide, memecahkan permasalahan, dan menerapkan apa yang mereka belajar. belajar aktif adalah mempelajari dengan cepat, menyenangkan, penuh semangat, dan keterlibatan secara pribadi…untuk mempelajari sesuatu dengan baik, harus mendengar, melihat, menjawab pertanyaan, dan mendiskusikannya dengan orang lain. Semua itu diperlukan oleh siswa untuk melakukan kegiatan – menggambarkannya sendiri, mencontohkan, mencoba keterampilan, dan melaksanakan tugas sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka miliki.
b. Glasgow (1996) siswa aktif adalah siswa yang bekerja keras untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam proses belajarnya sendiri. Mereka mengambil suatu peran yang lebih dinamis dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka harus mengetahui, apa yang harus mereka lakukan, dan bagaimana mereka akan melakukan itu. Peran mereka kemudian semakin luas untuk self-management, dan memotivasi diri untuk menjadi suatu kekuatan lebih besar di yang dimiliki siswa.
c. Modell dan Michael (1993) Menggambarkan suatu lingkungan belajar aktif adalah lingkungan belajar di mana para siswa secara individu didukung untuk terlibat aktif dalam proses membangun model mentalnya sendiri dari informasi yang telah mereka peroleh.
d. UC Davis TAC Handbook, Active Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menjadi guru bagi mereka sendiri. Active learning adalah suatu pendekatan bukan metode.
Menurut Joel Wein (1997:1) mendefinisikan active learning adalah nama suatu pendekatan untuk mendidik para siswa dengan memberikan peran yang lebih aktip di dalam proses pembelajaran. unsur umum di dalam pendekatan ini adalah bahwa guru dipindahkan peran kedudukannya dari yang paling berperan depan suatu kelas dan mempresentasikan materia pelajaran; menjadi para siswa lah yang berada pada posisi pengajaran diri mereka sendiri, dan guru diubah menjadi seorang pelatih dan penolong di dalam proses itu.
Akhirnya pada tahun 2004 sebagaimana dikatakan oleh Mayer (2004) bahwa strategi seperti “active learning” sudah berkembang luas hampir pada semua kelompok teori yang mengenalkan tentang pembelajaran yang mana siswa dapat menemukan sendiri. Bruner pada tahun 1961 pernah menjelaskan bahwa asalkan siswa sudah terlibat dalam proses pembelajaran, kemudian dapat mengingat kembali informasi yang telah diberikan sebelumnya, itu sudah dikatakan siswa aktif. Tetapi penjelasan itu ditentang oleh Mayer (2004); Kirschner, Sweller, and Clark, (2006) yang pada intinya mengatakan bahwa aktif menjelaskan bahwa siswa aktif tidak hanya sekedar hadir di kelas, menghafalkan dan akhirnya mengerjakan soal-soal di akhir pelajaran. Siswa harus terlibat aktif baik secara fisik maupun mental. Siswa semestinya juga aktif melakukan praktik dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa active learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran (mencari informasi, mengolah informasi, dan menyimpulkannya untuk kemudian diterapkan/ dipraktikkan) dengan menyediakan lingkungan belajar yang membuat siswa tidak tertekan dan senang melaksanakan kegiatan belajar.
C. BEBERAPA HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PELAKSANAAN PAKEM
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.
2. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
3.Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
7.Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’
B. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut.
Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
Pembelajaran
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam.
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
Gambar
Studi kasus
Nara sumber
Lingkungan
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan.
Siswa:
Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
Menarik kesimpulan
Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri
Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan.
Melalui:
Diskusi
Lebih banyak pertanyaan terbuka
Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.
Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari.
Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik
III. KESIMPULAN
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa PAKEM adalah akronim dari Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain.
Menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Seperti dikatakan oleh Muhhammad Rasyid Dimas bahwa memetik senar kegembiraan pada anak akan memunculkan keriangan dan vitalitas dalam jiwanya. Hal itu juga akan menjadikan si anak selalu siap untuk menerima perintah, peringatan, atau bimbingan apapun. Menabur kegembiraan dan keceriaan pada anak akan membuatnya mampu mengaktualisasikan kemampuannya dalam bentuk yang sempurna (Tate Qomaruddin. 2005:19).
Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup bila proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar PAKEM dapat digambarkan sebagai berikut:
PAKEM tidak hanya berlaku bagi siswa, namun juga dari sisi guru. Aktif dari sisi guru antara lain dengan: memantau kegiatan belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang dan mempertanyakan gagasan siswa. Kreatif dari sisi guru dapat dilihat dari kegiatan yang dikembangkan cukup beragam dan pengembangan berbagai alat bantu pembelajaran (alat peraga). Efektif adalah bahwa pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menyenangkan dalam arti guru harus mengkondisikan anak untuk tidak takut salah, takut ditertawakan atau dianggap remeh.
Dari sisi siswa, aktif akan kelihatan dari aktivitasnya untuk bertanya, mengemukakan gagasan, dan mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya. Kreatif adalah siswa dapat merancang / membuat sesuatu dan menulis / mengarang. Efektif mempunyai makna bahwa siswa dan menguasai keterampilan yang diperlukan. Sedangkan menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak berani mencoba, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat/ gagasan dan berani mempertanyakan gagasan orang lain
DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/active_learning#column-one
http://schoolweb.missouri.edu/stoutland/elementary/active_learning.htm,
(http://www.handsofalchemy.com).
Sesi pertama
1. Diksa- bagaimana cara yang baik u mengaplikasikan pakem trsbt tanpa terbentur dngan waktu?
2. Yogi- makna aktif secara mental itu apa?
3. Yogi- kalo kt gru mlhat seorang guru yg seperti itu untuk mengingat’y sprit pa?
Sesi kedua
1.
I. PENDAHULUAN
Manusia memperoleh sebagaian besar dari kemampuannya melalui belajar. Belajar adalah suatu peristiwa yang terjadi didalam kondisi-kondisi tertentu yang dapat diamati, diubah dan dikontrol (Robert M. Gagne, 1977). Kemampuan manusia yang dikembangkan melalui belajar yaitu: pertama; ketrampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, ketrampilan motorik, dan sikap.
Pendidik dituntut untuk menyediakan kondisi belajar untuk peserta didik untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu yang harus dipelajari oleh subyek didik. Dalam hal ini peranan desain pesan dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena desain pesan pembelajaran menunjuk pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola atau signal dan lambang yang dapat digunakan untuk menyediakan kondisi untuk belajar.
Awal mula kata-kata PAKEM dikembangkan dari istilah AJEL (Active Joyfull and Efective Learning). Untuk pertama kali di Indonesia pada tahun 1999 dikenal dengan istilah PEAM (Pembelajaran Efektif, Aktif dan Menyenangkan).
Namun seiring dengan perkembangan MBS di Indonesia pada tahun 2002 istilah PEAM diganti menjadi PAKEM, yaitu kependekan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.
PAKEM mengubah pembelajaran yang konvensional menjadi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menjadi guru bagi dirinya sendiri sehingga proses belajar menjadi bermakna.
II. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PAKEM
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. contoh pembelajaran aktif seperti pembelajaran berpasang-pasangan, berdiskusi, bermain peran, debat, studi kasus, terlibat aktif dalam kerja kelompok, atau membuat laporan singkat dan sebagainya. Disarankan agar guru menjadi pemandu sepanjang tahap awal pembelajaran, kemudian biarkan anak melakukan praktik keterampilan baru kemudian memberikan informasi-informasi baru yang belum diketahui siswa selama pembelajaran. Disarankan penggunaan active learning pada saat siswa telah mengenal materi sebelumnya, dan mereka telah memiliki suatu pemahaman yang baik manyangkut materi sebelumnya.
Pembelajaran Kreatif yaitu pembelajaran yang mendorong siswa untuk melakukan proses pembelajaran yang kreatif. Jerry Wennstrom (2005) mengatakan proses kreatif adalah suatu format explorasi yang berbeda dari yang lain, yaitu proses yang dihubungkan dalam pengalaman hidup dan bukan merupakan suatu model umum. Proses pembelajaran yang kreatif adalah suatu tindakan untuk penemuan terus menerus, penggalian yang mendalam dengan hati, pikiran dan semangat untuk mendapatkan keindahan dan pengalaman baru yang dapat ia rasakan. Menurut Jerry Wennstrom, proses belajar dikatakan kreatif bukan dilihat dari orang lain, namun lebih dilihat dari si-pelaku belajar sendiri. Dalam proses belajar apakah siswa telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk memperoleh keindahan dan pengalaman baru. Keindahan dan pengalaman baru tersebut hanya bisa dirasakan oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian proses kreatif antara siswa yang satu dengan yang lainnya berada pada takaran yang berbeda-beda
Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Pembelajaran yang menyenangkan ditandai dengan besarnya perhatian siswa terhadap tugas sehingga hasil belajar (tujuan pembelajaran) meningkat. Selain itu dalam jangka panjang diharapkan siswa menjadi senang belajar untuk menciptakan sikap belajar mandiri sepanjang hayat (life long learn).
Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
A. LANDASAN TEORI
landasan-landasan teori yang digunakan pada model belajar PAKEM di dalamnya pada hakekatnya adalah mengambil dari teori-teori tentang active learning atau pembelajaran aktif.
Pendekatan belajar siswa aktif sebenarnya sudah sejak lama dikembangkan. Konsep ini didasari pada keyakinan bahwa hakekat belajar adalah proses membangun makna/pemahaman, oleh si pembelajar, terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan yang dimiliki) dan perasaannya. Dengan demikian siswalah yang harus aktif untuk mencari informasi, pengalaman maupun keterampilan dalam rangka membangun sebuah makna dari hasil proses pembelajaran.
Pengertian pembelajaran aktif sedikit membingungkan. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memberikan pengertian yang berbeda-beda. Terlebih jika melihat hakekat belajar sebagaimana disebutkan di atas yaitu proses membangun makna oleh si pembelajar. Jadi mustahil siswa dikatakan belajar tetapi dia pasif sama sekali.
Barangkali istilah pembelajaran aktif di sini lebih tepat merupakan lawan dari pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional gurulah yang mendominasi semenatara pada pembelajaran aktif siswalah yang lebih banyak melakukan aktivitas belajar. Kedua pendekatan pembelajaran masih tetap ada keaktifan siswa, namun dalam kadar yang berbeda. Secara kuantitatif depdiknas pernah menetapkan dengan perbandingan 30% : 70%. Jika pendekatan konvensional (implementasi kurikulum 1994 dan sebelumnya) teknik pembelajarannya adalah 70% guru ceramah dan 30% siswa aktif melakukan kegiatan. Sedangkan pada pembelajaran aktif (imlementasi dari kurikulum 2006) teknik pembelajaran dilakukan dengan 70% siswa yang aktif melakukan kegiatan dan guru hanya 30% saja.
Pembelajaran aktif adalah suatu istilah yang memayungi beberapa model pembelajaran yang memfokuskan tanggung jawab proses pembelajaran pada si pelajar. Bonwell dan Eison ( 1991) mempopulerkan pendekatan ini ke dalam pembelajaran. Istilah active learning ini sudah dikenal pada tahun 1980-an. Kemudian pada tahun 1990-an Association for the Study of Higher Education (ASHE) memberikan laporan yang lebih lengkap tentang active learning. Dalam laporannya tersebut mereka telah mendiskusikan berbagai metode pembelajaran untuk memperkenalkan aktive learning.
Berikut pandangan dari para ahli mengenai kegiatan, siswa, dan lingkungan belajar active learning yang dipaparkan oleh Missouri Department of Elementary and Secondary Education
a. Silberman, M (1996) menggambarkan saat belajar aktif, para siswa melakukan banyak kegiatan. Mereka menggunakan otak untuk mempelajari ide-ide, memecahkan permasalahan, dan menerapkan apa yang mereka belajar. belajar aktif adalah mempelajari dengan cepat, menyenangkan, penuh semangat, dan keterlibatan secara pribadi…untuk mempelajari sesuatu dengan baik, harus mendengar, melihat, menjawab pertanyaan, dan mendiskusikannya dengan orang lain. Semua itu diperlukan oleh siswa untuk melakukan kegiatan – menggambarkannya sendiri, mencontohkan, mencoba keterampilan, dan melaksanakan tugas sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka miliki.
b. Glasgow (1996) siswa aktif adalah siswa yang bekerja keras untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam proses belajarnya sendiri. Mereka mengambil suatu peran yang lebih dinamis dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka harus mengetahui, apa yang harus mereka lakukan, dan bagaimana mereka akan melakukan itu. Peran mereka kemudian semakin luas untuk self-management, dan memotivasi diri untuk menjadi suatu kekuatan lebih besar di yang dimiliki siswa.
c. Modell dan Michael (1993) Menggambarkan suatu lingkungan belajar aktif adalah lingkungan belajar di mana para siswa secara individu didukung untuk terlibat aktif dalam proses membangun model mentalnya sendiri dari informasi yang telah mereka peroleh.
d. UC Davis TAC Handbook, Active Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menjadi guru bagi mereka sendiri. Active learning adalah suatu pendekatan bukan metode.
Menurut Joel Wein (1997:1) mendefinisikan active learning adalah nama suatu pendekatan untuk mendidik para siswa dengan memberikan peran yang lebih aktip di dalam proses pembelajaran. unsur umum di dalam pendekatan ini adalah bahwa guru dipindahkan peran kedudukannya dari yang paling berperan depan suatu kelas dan mempresentasikan materia pelajaran; menjadi para siswa lah yang berada pada posisi pengajaran diri mereka sendiri, dan guru diubah menjadi seorang pelatih dan penolong di dalam proses itu.
Akhirnya pada tahun 2004 sebagaimana dikatakan oleh Mayer (2004) bahwa strategi seperti “active learning” sudah berkembang luas hampir pada semua kelompok teori yang mengenalkan tentang pembelajaran yang mana siswa dapat menemukan sendiri. Bruner pada tahun 1961 pernah menjelaskan bahwa asalkan siswa sudah terlibat dalam proses pembelajaran, kemudian dapat mengingat kembali informasi yang telah diberikan sebelumnya, itu sudah dikatakan siswa aktif. Tetapi penjelasan itu ditentang oleh Mayer (2004); Kirschner, Sweller, and Clark, (2006) yang pada intinya mengatakan bahwa aktif menjelaskan bahwa siswa aktif tidak hanya sekedar hadir di kelas, menghafalkan dan akhirnya mengerjakan soal-soal di akhir pelajaran. Siswa harus terlibat aktif baik secara fisik maupun mental. Siswa semestinya juga aktif melakukan praktik dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa active learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran (mencari informasi, mengolah informasi, dan menyimpulkannya untuk kemudian diterapkan/ dipraktikkan) dengan menyediakan lingkungan belajar yang membuat siswa tidak tertekan dan senang melaksanakan kegiatan belajar.
C. BEBERAPA HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PELAKSANAAN PAKEM
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.
2. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
3.Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
7.Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’
B. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut.
Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
Pembelajaran
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam.
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
Gambar
Studi kasus
Nara sumber
Lingkungan
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan.
Siswa:
Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
Menarik kesimpulan
Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri
Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan.
Melalui:
Diskusi
Lebih banyak pertanyaan terbuka
Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.
Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari.
Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik
III. KESIMPULAN
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa PAKEM adalah akronim dari Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain.
Menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Seperti dikatakan oleh Muhhammad Rasyid Dimas bahwa memetik senar kegembiraan pada anak akan memunculkan keriangan dan vitalitas dalam jiwanya. Hal itu juga akan menjadikan si anak selalu siap untuk menerima perintah, peringatan, atau bimbingan apapun. Menabur kegembiraan dan keceriaan pada anak akan membuatnya mampu mengaktualisasikan kemampuannya dalam bentuk yang sempurna (Tate Qomaruddin. 2005:19).
Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup bila proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar PAKEM dapat digambarkan sebagai berikut:
PAKEM tidak hanya berlaku bagi siswa, namun juga dari sisi guru. Aktif dari sisi guru antara lain dengan: memantau kegiatan belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang dan mempertanyakan gagasan siswa. Kreatif dari sisi guru dapat dilihat dari kegiatan yang dikembangkan cukup beragam dan pengembangan berbagai alat bantu pembelajaran (alat peraga). Efektif adalah bahwa pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menyenangkan dalam arti guru harus mengkondisikan anak untuk tidak takut salah, takut ditertawakan atau dianggap remeh.
Dari sisi siswa, aktif akan kelihatan dari aktivitasnya untuk bertanya, mengemukakan gagasan, dan mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya. Kreatif adalah siswa dapat merancang / membuat sesuatu dan menulis / mengarang. Efektif mempunyai makna bahwa siswa dan menguasai keterampilan yang diperlukan. Sedangkan menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak berani mencoba, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat/ gagasan dan berani mempertanyakan gagasan orang lain
DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/active_learning#column-one
http://schoolweb.missouri.edu/stoutland/elementary/active_learning.htm,
(http://www.handsofalchemy.com).
Sesi pertama
1. Diksa- bagaimana cara yang baik u mengaplikasikan pakem trsbt tanpa terbentur dngan waktu?
2. Yogi- makna aktif secara mental itu apa?
3. Yogi- kalo kt gru mlhat seorang guru yg seperti itu untuk mengingat’y sprit pa?
Sesi kedua
1.
PEMBELAJARAN CTL
Oleh:Prof.Dr.H.EndangKomara,M.Si
A.Abstrak
Contextual Teaching and Learning (CTL) dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, karena belajar bukanlah sekadar menghafal akan tetapi mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ‘’pemberian’’ dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pembelajaran interaktif memiliki dua karakteristik yaitu Pertama proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi mengehendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
B. Pendahuluan
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:110), sebagai berikut:
1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
Pembelajaran interaktif menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat ini sejalan dengan Jerome Brunner (1960) mengatakan bahwa: ‘’Perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas’’. Selanjutnya menurut Bruner teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang yang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. Jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang lain, tetapi ‘’dibentuk dan dikonstruksi’’ oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya.
Pembelajaran interaktif mempunyai dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd. (2003:63), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Proses pembelajaran atau pengajaran kelas (Classroom Teaching) menurut Dunkin dan Biddle (1974:38) berada pada empat variabel interaksi yaitu (1) variabel pertanda (pesage variables) berupa pendidik; (2) variabel konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah dan masyarakat; (3) variabel proses (process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dunkin dan Biddle selanjutnya mengatakan proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu: (1) kompetensi substansi materi pembelajaran atau penguasaa materi pelajaran; dan (2) kompetensi metodologi pembelajaran.
Artinya jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran sesuai kebutuhan materi ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik, yaitu memahami karakteristik peserta didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi ajar menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran terus mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu dalam merespon perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber belajar berasal dari guru dan media buku teks belaka. Dirasakan perlu ada cara baru dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran baik dalam sistem yang mandiri maupun dalam sistem yang terstruktur. Untuk itu perlu dipersiapkan sumber belajar oleh pihak guru maupun para ahli pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran aktivitasnya dalam bentuk interaksi belajar mengajar dalam suasana interaksi edukatif, yaitu interaksi yang sadar akan tujuan artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk suatu tujuan tertentu setidaknya adalah pencapaian tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada satuan pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang diprogramkan guru merupakan kegiatan integralistik antara pendidik dengan peserta didik. Kegiatan pembelajaran secara metodologis berakar dari pihak pendidik yaitu guru, dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson (1986:15) pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran.
Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986:18) mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum. Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal. Hal ini menggambarkan bahwa interaksi pendidik dengan peserta didik merupakan inti proses pembelajaran (instructional). Dengan demikian pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran itu dikembangkan melalui pola pembelajaran yang menggambarkan kedudukan serta peran pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru sebagai sumber belajar, penentu metode belajar, dan juga penilai kemajuan belajar meminta para pendidik untuk menjadikan pembelajaran lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.
C. Pembahasan
1. Pembelajaran Kontekstual
Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku.
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain:
a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
b. Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.
c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan.
d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
e. Belajar pada hakikatnya adalah menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning)
Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
(1) CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
(2) Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
(3) Dalam CTL pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.
(4) Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
(5) Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
(6) Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
(7) Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
(8) Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
(9) Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
(10) Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
(a) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
(b) Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
(c) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
(d) Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses penemukan dan mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuan melalui proses pengamatan dan pengalaman. Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intektual, mental emosional maupun pribadinya.
Apakah inkuiri hanya bias dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak. Berbagi topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Secara umum proses ikuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulakn data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan membuat kesimpulan.
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran; (2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan (5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat belajar (learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelima, pemodelan (modeling). Maksudnya adalah, proses pembelajaran dengan menggunakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer dan lain sebagainya.
Proses modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam setiap proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
Ketujuh, penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
2. Pembelajaran Interaktif
Kegiatan belajar melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta didik, pendidik atau guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar yang digunakan, media pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dan evaluasi kemajuan belajar siswa menggunakan tes yang standar. Semua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan pembelajaran. Karena itu kegiatan pembelajaran merupakan suatu sistem yang integral, dalam suatu sistem pembelajaran atau sistem instruksional di sekolah. Dilihat dari sudut institusional sekolah, dalam hal mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran, kepala sekolah memainkan peran cukup penting, karena berkontribusi signifikan terhadap perolehan suatu sistem belajar. Meskipun setiap guru mempunyai kemampuan professional yang tinggi dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi tidak didukung pelayanan institusional yang memadai, tentu saja kegiatan pembelajaran itu tidak akan maksimal.
Peran kepala sekolah untuk menyediakan fasilitas pembelajaran, melakukan pembinaan pertumbuhan jabatan guru, dan dukungan profesionalitas lainnya menjadi suatu kekuatan tersendiri bagi guru melaksanakan tugas profesionalnya. Setelah guru mendapat dukungan institusional, hal selanjutnya yang perlu dipersiapkan oleh guru adalah berkaitan dengan pendekatan belajar yang menjadi otonom profesional keguruan. Para ahli psikologi belajar dan ahli kependidikan telah banyak menyampaikan sejumlah teori maupun konsep pendekatan pembelajaran. Pendekatan ini pada umumnya mengacu pada pendekatan psikologi yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk menangkap ataupun menerima pelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran menjadi suatu hal yang amat penting, karena dilihat dari sudut psikologi setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima pelajaran, untuk itu diperlukan pendekatan yang sesuai dengan potensi anak didik.
Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksankan pendekatan serta metode belajar dalam proses pembelajaran termasuk faktor yang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Pendekatan tersebut bertitik tolak pada aspek psikologis dilihat dari pertumbuhan daan perkembangan anak, kemampuan intelektual, dan kemampuan lainnya yang mendukung kemampuan belajar. Pendekatan ini dilakukan sebagai strategi yang dipandang tepat untuk memudahkan siswa memahami pelajaran dan juga belajar yang menyenangkan.
Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Adapun pendekatan pembelajaran interaktif yang sudah umum dipakai oleh para guru menurut Sagala (2003:71) antara lain pendekatan konsep dan proses, deduktif-induktif, ekspositori dan heuristic, dan pendekatan kecerdasan.
Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung menyajikan konsep tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati bagaimana konsep itu diperoleh. Konsep merupakan buah pikiran seseorang atau kelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak, kegunaan konsep untuk menjelaskan dan meramalkan.
Konsep menunjukkan suatu hubungan antar konsep yang lebih sederhana sebagai dasar perkiraan atau jawaban manusia terhadap pertanyaan yang bersifat asasi tentang mengapa suatu gejala itu bisa terjadi. Konsep merupakan pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menjadi produk pengetahuan yang meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak. Konsep dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru, sedangkan kegunaan konsep adalah menjelaskan dan meramalkan. Fravell (1970) menyarankan, bahwa pemahaman terhadap konsep dapat dibedakan dalah tujuh dimensi yaitu atribut, struktur, keabstrakan, keinklusifan, generalitas/keumuman, ketepatan dan kekuatan.
Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atrau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran dengan menekankan kepada belajar proses dilatarbelakangi oleh konsep belajar menurut teori ‘’Naturalisme-Romantis’’ dan teori ‘’Kognitif Gestalt’’. Naturalisme-Romantis menekankan kepada aktivitas siswa, sedangkan kognitif Gestalt menekankan pemahaman dan kesatupaduan yang menyeluruh. Pendekatan proses dalam pembelajaran dikenal pula sebagai keterampilan proses, guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran yang bervariasi, agar siswa terlibat dalam berbagai pengalaman. Siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Siswa melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan sendiri.
Dalam pembelajaran proses ini, siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama temannya, dan dari manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan proses adalah: (1) mengamati gejala yang timbul, (2) mengklasifikasikan sifat-sfat yang sama, serupa; (3) mengukur besaran-besaran yang bersangkutan; (4) mencari hubungan antar konsep yang ada; (5) mengenal adanya suatu masalah, merumuskan masalah; (6) memperkirakan penyebab suatu gejala, merumuskan hipotesa; (7) meramalkan gejala yang mungkin akan terjadi; (8) berlatih menggunakan alat ukur; (9) melakukan percobaan; (10) mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan data; (11) berkomunikasi; dan (12) mengenal adanya variabel, mengendalikan suatu variabel.
Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekataan deduktif; (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum. Sedangkan pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh Filosof Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem isi dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri atau sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh itu; (3) disajikan bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Syamsudin Makmun (2003:228) siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai ‘rule’ (prinsip, dalil, aturan, hukum, akidah dan sebagainya).
Pendekatan Ekspositori, berpandangan bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar. Hakekat mengajar menurut pandangan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang menerima apa saja yang diberikan guru. Biasanya guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istailah kuliah, ceramah, dan lecture. Dalam pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkap kembali apa yang dimilikinya melalui respons yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru.
Pendekatan Heuristik adalah merancang pembelajaran dari berbagai aspek dari pembentukan sistem instruksional mengarah pada pengaktifan peserta didik mencari dan menemukan sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan. Pendekatan heuristic adalah pendekatan pengajaran yang menyajikan sejumlah data dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut, implementasinya dalam pengajaran menggunakan metode penemuan data metode inkuiri. Metode penemuan didasarkan pada anggapan, bahwa materi suatu bidang studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitannya antara materi tersebut. Dengan pendekatan heuristic dapat mendorong peserta didik bersikap berani untuk berpikir ilmiah dan mengembangkan berpikir mandiri.
Pendekatan kecerdasan, guru harus mengetahui kecerdasan siswanya agar dapat menolong kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui kecerdasan para siswanya tentu guru tidak melakukannya sendiri, untuk hal yang sederhana dapat dilakukan oleh konselor yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keahlian yang memadai. Bagi sekolah yang berada di perkotaan dan tersedia psikolog, maka dapat dimintakan bantuan para ahli psikologi tersebut untuk melakukan tes kecerdasan, dengan demikian hasilnya dapat lebih akurat, dan tindakan belajarpun dapat disesuaikan dengan kemampuan siswa oleh guru. Munzert, A.W. (1994) mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian, dan kemampuan memecahkan masalah.
Intelegensi dapat dirumuskan dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan dan mencapai prestasi yang di dalamnya berpikir memainkan peranan utama. Dari tingkah laku seseorang, pembicaraan, aksi, reaksinya, orang dapat menilainya apakah orang itu cerdas, cerdik, pintar atau sebaliknya bodoh dan lamban. Walaupun untuk memperoleh informasi yang lebih dapat dipercaya melalui tes kecerdasan melalui uji psikotes oleh ahli psikologi. Tingkah laku yang inteligen oleh sejumlah ciri sebagai berikut: (1) tingkah laku yang siap melakukan perubahan yang perlu terhadap kondisi baru, tidak kaku; (2) tingkah laku yang bertujuan; (3) tingkah laku yang cepat, reaksi yang segera; (4) tingkah laku yang terorganisir, yakni ada koordinasi yang baik antara kondisi pribadi dalam lingkungan yang memecahkan persoalan; (5) tingkah laku yang dikendalikan oleh motivasi yang kuat; dan (6) tingkah laku yang success oriented.
D. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.
2. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan pembelajaraan secara keseluruhan.
3. Pembelajaran interaktif, guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis dan didaktis secara bersamaan. Caranya guru dengan menggunakan pendekatan pemberian pemahaman kepada siswa, pemberian informasi dan pendekatan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi oleh siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati danMudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. 1974. The Study of Teaching. New York: Rinehart and Wsiton Inc.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Rosda.
Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jogyakarta: Prisma Sophie.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Fajar Interpratama Offset.
Sudjana, D. 2001. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Diposkan oleh dahli hari Jumat, Januari 23, 2009
Label: PENDIDIKANPEMBELAJARAN CTL
Oleh:Prof.Dr.H.EndangKomara,M.Si
A.Abstrak
Contextual Teaching and Learning (CTL) dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, karena belajar bukanlah sekadar menghafal akan tetapi mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ‘’pemberian’’ dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pembelajaran interaktif memiliki dua karakteristik yaitu Pertama proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi mengehendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
B. Pendahuluan
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:110), sebagai berikut:
1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
Pembelajaran interaktif menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat ini sejalan dengan Jerome Brunner (1960) mengatakan bahwa: ‘’Perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas’’. Selanjutnya menurut Bruner teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang yang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. Jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang lain, tetapi ‘’dibentuk dan dikonstruksi’’ oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya.
Pembelajaran interaktif mempunyai dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd. (2003:63), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Proses pembelajaran atau pengajaran kelas (Classroom Teaching) menurut Dunkin dan Biddle (1974:38) berada pada empat variabel interaksi yaitu (1) variabel pertanda (pesage variables) berupa pendidik; (2) variabel konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah dan masyarakat; (3) variabel proses (process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dunkin dan Biddle selanjutnya mengatakan proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu: (1) kompetensi substansi materi pembelajaran atau penguasaa materi pelajaran; dan (2) kompetensi metodologi pembelajaran.
Artinya jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran sesuai kebutuhan materi ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik, yaitu memahami karakteristik peserta didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi ajar menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran terus mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu dalam merespon perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber belajar berasal dari guru dan media buku teks belaka. Dirasakan perlu ada cara baru dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran baik dalam sistem yang mandiri maupun dalam sistem yang terstruktur. Untuk itu perlu dipersiapkan sumber belajar oleh pihak guru maupun para ahli pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran aktivitasnya dalam bentuk interaksi belajar mengajar dalam suasana interaksi edukatif, yaitu interaksi yang sadar akan tujuan artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk suatu tujuan tertentu setidaknya adalah pencapaian tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada satuan pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang diprogramkan guru merupakan kegiatan integralistik antara pendidik dengan peserta didik. Kegiatan pembelajaran secara metodologis berakar dari pihak pendidik yaitu guru, dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson (1986:15) pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran.
Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986:18) mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum. Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal. Hal ini menggambarkan bahwa interaksi pendidik dengan peserta didik merupakan inti proses pembelajaran (instructional). Dengan demikian pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran itu dikembangkan melalui pola pembelajaran yang menggambarkan kedudukan serta peran pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru sebagai sumber belajar, penentu metode belajar, dan juga penilai kemajuan belajar meminta para pendidik untuk menjadikan pembelajaran lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.
C. Pembahasan
1. Pembelajaran Kontekstual
Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku.
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain:
a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
b. Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.
c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan.
d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
e. Belajar pada hakikatnya adalah menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning)
Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
(1) CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
(2) Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
(3) Dalam CTL pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.
(4) Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
(5) Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
(6) Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
(7) Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
(8) Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
(9) Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
(10) Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
(a) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
(b) Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
(c) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
(d) Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses penemukan dan mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuan melalui proses pengamatan dan pengalaman. Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intektual, mental emosional maupun pribadinya.
Apakah inkuiri hanya bias dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak. Berbagi topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Secara umum proses ikuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulakn data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan membuat kesimpulan.
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran; (2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan (5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat belajar (learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelima, pemodelan (modeling). Maksudnya adalah, proses pembelajaran dengan menggunakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer dan lain sebagainya.
Proses modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam setiap proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
Ketujuh, penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
2. Pembelajaran Interaktif
Kegiatan belajar melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta didik, pendidik atau guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar yang digunakan, media pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dan evaluasi kemajuan belajar siswa menggunakan tes yang standar. Semua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan pembelajaran. Karena itu kegiatan pembelajaran merupakan suatu sistem yang integral, dalam suatu sistem pembelajaran atau sistem instruksional di sekolah. Dilihat dari sudut institusional sekolah, dalam hal mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran, kepala sekolah memainkan peran cukup penting, karena berkontribusi signifikan terhadap perolehan suatu sistem belajar. Meskipun setiap guru mempunyai kemampuan professional yang tinggi dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi tidak didukung pelayanan institusional yang memadai, tentu saja kegiatan pembelajaran itu tidak akan maksimal.
Peran kepala sekolah untuk menyediakan fasilitas pembelajaran, melakukan pembinaan pertumbuhan jabatan guru, dan dukungan profesionalitas lainnya menjadi suatu kekuatan tersendiri bagi guru melaksanakan tugas profesionalnya. Setelah guru mendapat dukungan institusional, hal selanjutnya yang perlu dipersiapkan oleh guru adalah berkaitan dengan pendekatan belajar yang menjadi otonom profesional keguruan. Para ahli psikologi belajar dan ahli kependidikan telah banyak menyampaikan sejumlah teori maupun konsep pendekatan pembelajaran. Pendekatan ini pada umumnya mengacu pada pendekatan psikologi yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk menangkap ataupun menerima pelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran menjadi suatu hal yang amat penting, karena dilihat dari sudut psikologi setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima pelajaran, untuk itu diperlukan pendekatan yang sesuai dengan potensi anak didik.
Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksankan pendekatan serta metode belajar dalam proses pembelajaran termasuk faktor yang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Pendekatan tersebut bertitik tolak pada aspek psikologis dilihat dari pertumbuhan daan perkembangan anak, kemampuan intelektual, dan kemampuan lainnya yang mendukung kemampuan belajar. Pendekatan ini dilakukan sebagai strategi yang dipandang tepat untuk memudahkan siswa memahami pelajaran dan juga belajar yang menyenangkan.
Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Adapun pendekatan pembelajaran interaktif yang sudah umum dipakai oleh para guru menurut Sagala (2003:71) antara lain pendekatan konsep dan proses, deduktif-induktif, ekspositori dan heuristic, dan pendekatan kecerdasan.
Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung menyajikan konsep tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati bagaimana konsep itu diperoleh. Konsep merupakan buah pikiran seseorang atau kelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak, kegunaan konsep untuk menjelaskan dan meramalkan.
Konsep menunjukkan suatu hubungan antar konsep yang lebih sederhana sebagai dasar perkiraan atau jawaban manusia terhadap pertanyaan yang bersifat asasi tentang mengapa suatu gejala itu bisa terjadi. Konsep merupakan pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menjadi produk pengetahuan yang meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak. Konsep dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru, sedangkan kegunaan konsep adalah menjelaskan dan meramalkan. Fravell (1970) menyarankan, bahwa pemahaman terhadap konsep dapat dibedakan dalah tujuh dimensi yaitu atribut, struktur, keabstrakan, keinklusifan, generalitas/keumuman, ketepatan dan kekuatan.
Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atrau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran dengan menekankan kepada belajar proses dilatarbelakangi oleh konsep belajar menurut teori ‘’Naturalisme-Romantis’’ dan teori ‘’Kognitif Gestalt’’. Naturalisme-Romantis menekankan kepada aktivitas siswa, sedangkan kognitif Gestalt menekankan pemahaman dan kesatupaduan yang menyeluruh. Pendekatan proses dalam pembelajaran dikenal pula sebagai keterampilan proses, guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran yang bervariasi, agar siswa terlibat dalam berbagai pengalaman. Siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Siswa melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan sendiri.
Dalam pembelajaran proses ini, siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama temannya, dan dari manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan proses adalah: (1) mengamati gejala yang timbul, (2) mengklasifikasikan sifat-sfat yang sama, serupa; (3) mengukur besaran-besaran yang bersangkutan; (4) mencari hubungan antar konsep yang ada; (5) mengenal adanya suatu masalah, merumuskan masalah; (6) memperkirakan penyebab suatu gejala, merumuskan hipotesa; (7) meramalkan gejala yang mungkin akan terjadi; (8) berlatih menggunakan alat ukur; (9) melakukan percobaan; (10) mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan data; (11) berkomunikasi; dan (12) mengenal adanya variabel, mengendalikan suatu variabel.
Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekataan deduktif; (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum. Sedangkan pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh Filosof Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem isi dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri atau sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh itu; (3) disajikan bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Syamsudin Makmun (2003:228) siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai ‘rule’ (prinsip, dalil, aturan, hukum, akidah dan sebagainya).
Pendekatan Ekspositori, berpandangan bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar. Hakekat mengajar menurut pandangan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang menerima apa saja yang diberikan guru. Biasanya guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istailah kuliah, ceramah, dan lecture. Dalam pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkap kembali apa yang dimilikinya melalui respons yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru.
Pendekatan Heuristik adalah merancang pembelajaran dari berbagai aspek dari pembentukan sistem instruksional mengarah pada pengaktifan peserta didik mencari dan menemukan sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan. Pendekatan heuristic adalah pendekatan pengajaran yang menyajikan sejumlah data dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut, implementasinya dalam pengajaran menggunakan metode penemuan data metode inkuiri. Metode penemuan didasarkan pada anggapan, bahwa materi suatu bidang studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitannya antara materi tersebut. Dengan pendekatan heuristic dapat mendorong peserta didik bersikap berani untuk berpikir ilmiah dan mengembangkan berpikir mandiri.
Pendekatan kecerdasan, guru harus mengetahui kecerdasan siswanya agar dapat menolong kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui kecerdasan para siswanya tentu guru tidak melakukannya sendiri, untuk hal yang sederhana dapat dilakukan oleh konselor yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keahlian yang memadai. Bagi sekolah yang berada di perkotaan dan tersedia psikolog, maka dapat dimintakan bantuan para ahli psikologi tersebut untuk melakukan tes kecerdasan, dengan demikian hasilnya dapat lebih akurat, dan tindakan belajarpun dapat disesuaikan dengan kemampuan siswa oleh guru. Munzert, A.W. (1994) mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian, dan kemampuan memecahkan masalah.
Intelegensi dapat dirumuskan dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan dan mencapai prestasi yang di dalamnya berpikir memainkan peranan utama. Dari tingkah laku seseorang, pembicaraan, aksi, reaksinya, orang dapat menilainya apakah orang itu cerdas, cerdik, pintar atau sebaliknya bodoh dan lamban. Walaupun untuk memperoleh informasi yang lebih dapat dipercaya melalui tes kecerdasan melalui uji psikotes oleh ahli psikologi. Tingkah laku yang inteligen oleh sejumlah ciri sebagai berikut: (1) tingkah laku yang siap melakukan perubahan yang perlu terhadap kondisi baru, tidak kaku; (2) tingkah laku yang bertujuan; (3) tingkah laku yang cepat, reaksi yang segera; (4) tingkah laku yang terorganisir, yakni ada koordinasi yang baik antara kondisi pribadi dalam lingkungan yang memecahkan persoalan; (5) tingkah laku yang dikendalikan oleh motivasi yang kuat; dan (6) tingkah laku yang success oriented.
D. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.
2. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan pembelajaraan secara keseluruhan.
3. Pembelajaran interaktif, guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis dan didaktis secara bersamaan. Caranya guru dengan menggunakan pendekatan pemberian pemahaman kepada siswa, pemberian informasi dan pendekatan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi oleh siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati danMudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. 1974. The Study of Teaching. New York: Rinehart and Wsiton Inc.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Rosda.
Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jogyakarta: Prisma Sophie.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Fajar Interpratama Offset.
Sudjana, D. 2001. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Diposkan oleh dahli hari Jumat, Januari 23, 2009
Label: PENDIDIKANPEMBELAJARAN CTL
Metode Pengajaran John Dewey Menurut John Dewey metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan –kesimpulan yang definitif melalui lima langkah.
1) Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2) Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
3) Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4) Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
5) Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik। Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu। Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antara masalah dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran. Dengan demikian jelas betapa pentingnya makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berpikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positf adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi.
1) Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2) Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
3) Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4) Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
5) Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik। Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu। Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antara masalah dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran. Dengan demikian jelas betapa pentingnya makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berpikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positf adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi.
Disini bisa download langsung tentang materi dan info pendidikan
pembinaan_kompetensi_mengajar_fisika_pkmf.ppt | |
File Size: | 4785 kb |
File Type: | ppt |
melaksanakan_proses_pembelajaran.pptx | |
File Size: | 3734 kb |
File Type: | pptx |
18_butir_karakter_bangsa.pptx | |
File Size: | 51 kb |
File Type: | pptx |