Bagi mereka yang mengikuti agenda liqo maupun halaqoh pekanan , materi di bawah ini semoga bermanfaat :)
Hak anak perempuan
Dan orang yang mendapatkan rahmat Allah SWT, ia akan hidup dengan kehidupan yang baik, mendapatkan nikmat lahir batin, dan akan berakhir dengan kebaikan (husnul khatimah).
عن عائشة زوج النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالت : جاءتني امرأة معها ابنتان تسألني ، فلم تجد عندي غير تمرة واحدة فأعطيتها ، فقسمتها بين ابنتيها ، ثم قامت فخرجت ، فدخل النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فحدثته ، فقال : ما يلي من هذه البنات شيئاً فأحسن إليهم كن له ستراً من النار . رواه البخاري ، ومسلم ، الترمذي .
Ilustrasi (inet)
Dari Aisyah – istri Rasulullah SAW – berkata: “Telah datang padaku seorang wanita bersama dengan dua orang anaknya meminta sesuatu kepadaku. Aku hanya memiliki sebutir korma, lalu aku berikan padanya. ibu itu kemudian membaginya untuk kedua anaknya, lalu pergi. Kemudian Rasulullah SAW datang dan aku ceritakan kepadanya. Nabi bersabda: barangsiapa yang dikaruniai anak-anak perempuan lalu berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak itu akan menjadi penghalangnya dari neraka”. (HR Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi)
Penjelasan:
معها ابنتان Membawa dua anaknya
تسألني فلم تجد عندي تمرة واحدة فأعطيتها Ia memintaku, lalu aku tidak temukan kecuali sebutir kurma, lalu aku berikan kepadanya. Hal ini menunjukkan kedermawanan Ummul Mukminin Aisyah –RA. Ketika tidak ada sesuatupun yang bisa diberikan kecuali sebutir kurma, ia lebih prioritaskan untuk wanita itu, daripada dirinya sendiri.
فقسمتها بين ابنتيها Kemudian wanita itu membaginya untuk kedua anaknya. Secara tekstual hadits ini menerangkan bahwa ibu itu tidak makan sedikit pun. Seorang ibu yang memprioritaskan anaknya daripada dirinya adalah bentuk kasih sayang yang tidak diragukan lagi.
ثم قامت فخرجت Kemudian wanita itu bangkit dan keluar, bersama dengan kedua anaknya dari rumah Aisyah RA.
” فدخل النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ فحدثته Kemudian Rasulullah saw masuk, lalu Aisyah RA menceritakan hal ini kepadanya.
Lalu Rasulullah saw bersabda: من يلي “ dari kata: الولاية : menguasai. Dalam riwayat lain من بُلى huruf ba’ dibaca dhammah, dari kata: البلاء : ujian.
Dalam riwayat lain من ابتلى : barang siapa yang diuji.
Artinya barang siapa yang diuji seperti ujian anak-anak ini; untuk dinilai; apakah akan memperlakukan mereka dengan baik atau tidak baik. Maka pahala akan diberikan kepada pelaku kebaikan kepada satu anak perempuan sebagaimana balasan kebaikan itu akan diperoleh pelaku kebaikan kepada lebih dari satu anak perempuan. Berbuat baik kepada anak antara lain dengan infaq (membiayai) ta’dib ( mendidik) dsb.
Secara zhahir; pahala yang disebutkan di atas itu akan diperoleh pelaku kebaikan sehingga anak itu mandiri dengan menikah atau lainnya.
” كن له ستراً “ Mereka menjadi penghalang. Dalam riwayat lain: كن له حجاباً mereka menjadi hijab (penutup). Kata satr dan hijab memiliki makna yang sama.
Hadits ini menegaskan tentang hak anak perempuan. Karena pada umumnya mereka lemah dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Berbeda dengan laki-laki, yang secara fisik lebih kuat, lebih cair dalam berfikir, mampu memenuhi kebutuhannya, pada umumnya.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:
Orang yang sangat membutuhkan diperbolehkan meminta-minta. Seperti yang dilakukan oleh ibu dari dua anak perempuan tadi kepada Aisyah RA
Sebaiknya bersedekah dengan apa yang ada, sedikit atau banyak. Seperti yang dilakukan oleh Aisyah RA, dengan sebutir kurma. Kurang berharganya sebutir kurma itu tidak menghalanginya dari bersedekah.
Diperbolehkan menceritakan kebaikan yang dilakukan, selama tidak bertujuan untuk membanggakan diri dan membangkit pemberian. Seperti yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah RA dalam bercerita kepada Rasulullah tentang wanita itu dan kedua anaknya.
Sesungguhnya menyayangi anak perempuan dan berbuat baik kepadanya akan menjaga dari api neraka, yang menjadi pekerjaan orang-orang baik untuk berusaha terlindung dan selamat darinya.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/09/14953/hak-anak-perempuan/#ixzz1x4JXMsFx
Akhlaq yang Baik : Setiap Kebaikan adalah Sedekah
A. Setiap Kebaikan adalah sedekah
1 ـ عن جابر بن عبد الله ـ رضي الله عنهما ـ عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال :” كل معروفٍ صدقة “ . رواه البخاري ، ومسلم .
dakwatuna.com – Dari Jabir bin Abdullah RA, dari Nabi Muhammad saw bersabda: “Semua kebaikan itu adalah sedekah.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Penjelasan:
كل معروفٍ Kebaikan yang lahir dari manusia dalam bentuk perbuatan aktif, atau meninggalkan perbuatan tertentu. Dicatat pahala sedekah baginya.
Al Ma’ruf adalah semua yang diketahui berdasarkan dalil syar’i termasuk dalam amal kebaikan. Maka termasuk dalam al ma’ruf itu adalah nafkah suami kepada istrinya, berwajah cerah ketika berjumpa dengan saudaranya. Demikian juga tidak melakukan keburukan adalah salah satu bentuk al ma’ruf.
2 ـ عن أبي موسى الأشعري ـ رضي الله عنه ـ قال : قال النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ : ” على كل مسلم صدقة . قالوا : فإن لم يجد ؟ قال فيعمل بيديه ، فينفع نفسه ، ويتصدق . قالوا : فإن لم يستطع ، أو لم يفعل ؟ قال : فيعين ذا الحاجة الملهوف : قالوا : فإن لم يفعل ؟ قال : فيأمر بالخير ـ أو قال بالمعروف . قال : فإن لم يفعل ؟ قال فليمسك عن الشر ، فإنه له صدقة “
Ilustrasi (wallpapercube/hdn)
Dari Abu Musa Al Asy’ariy RA berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap muslim harus bersedekah.” Para sahabat bertanya: “Jika tidak memiliki sesuatu untuk bersedekah?” Jawab Nabi: “Bekerja dengan tangannya, sehingga bermanfaat bagi dirinya dan bersedekah.” Para sahabat bertanya lagi: “Jika tidak mampu atau tidak melakukannya?” Jawab Nabi: “Membantu orang yang memerlukan yang mengharapkan bantuan.” Para sahabat bertanya lagi: “Jika tidak mampu?” Jawab Nabi: “Menyuruh yang baik –atau ma’ruf.” Ada yang bertanya lagi: “Jika tidak mampu?” Jawab Nabi: “Hendaklah menahan diri dari keburukan, karena sesungguhnya itu adalah shadaqah.”
Penjelasan:
Sabda Nabi Muhammad SAW: فيعمل بيده فينفع bekerja dengan tangannya, pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakannya seperti : kerajinan tangan, dagang, dll.
لنفسه Bisa membiayai diri sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak meminta-minat kepada orang lain.
ويتصدق Dan bersedekah sehingga bermanfaat bagi orang lain, dan berpahala.
فإن لم يستطع ، أو لم يفعل Jika tidak mampu melakukannya, atau tidak mengerjakannya karena malas. Ada keraguan perawi.
Jawab Nabi: فيعين maka membantu dengan ucapan atau perbuatan, atau kedua-duanya.
ذا الحاجة الملهوف Orang yang memerlukan, teraniaya, meminta pertolongan, berduka, atau dalam kesulitan.
فإن لم يفعل ” ذلك عجزاً ، أو كسلاً Jika ia tidak melakukannya karena tidak mampu atau malas?
Jawab Nabi: فيأمر بالخير أو قال بالمعرو menyuruh yang baik atau yang ma’ruf, perawi hadits ini ragu.
Ar Rhaghib berkata: Al Ma’ruf adalah nama untuk semua perbuatan yang dikenal baik menurut syariah maupun akal sehat. Maka semua yang ma’ruf adalah baik.
قال Berkata salah seorang sahabat yang ada ketika Rasulullah menyampaikan hal ini. Jika tidak mampu? Jawab Nabi: فليمسك عن الشر فإنه له صدقة ” Hendaklah ia menahan diri dari perbuatan buruk. Karena sikap ini adalah sedekah baginya.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran anjuran bersedekah dengan harta, sebagaimana anjuran bekerja dan berusaha agar mendapatkan nafkah untuk dirinya, dapat bersedekah kepada orang lain, menjaga kehormatan diri dari meminta-minta.
Dari hadits ini dapat pula diambil pelajaran anjuran berbuat kebaikan semaksimal mungkin. Dan bahwa seseorang yang telah berniat melakukan kebaikan kemudian mengalami kesulitan hendaklah berpindah kepada kebaikan lainnya. Karena semua perbuatan baik adalah ma’ruf, dan semua yang ma’ruf adalah sedekah
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/09/8767/akhlaq-yang-baik-bagian-ke-1-setiap-kebaikan-adalah-sedekah/#ixzz1x4IWcu00
Hadits-Hadits yang Terkait dengan Silaturahim (Bagian ke-1)
Segala puji bagi Allah SWT yang memberi petunjuk pada kebenaran dengan izin-Nya menuju jalan yang lurus. Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW yang memberikan rahmat untuk seluruh alam. Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkan atas seluruh agama, membenarkan yang benar walaupun orang-orang kafir membencinya. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah dididik oleh Allah SWT dengan apa yang diturunkan untuknya sehingga jadilah kepribadiannya menjadi kepribadian yang baik, keputusannya itu jelas, ungkapannya itu berada pada sastra yang tinggi, mempunyai pengaruh dalam memperbaiki jiwa, mentarbiyahnya, mengarahkannya dan membahagiakan seluruh manusia. Beliaulah sumber kebaikan, sumber cahaya menerangi jalan kemaslahatan untuk seluruh manusia. Sebagai mana kita juga mengharapkan dengan hadits ini untuk kebaikan kita di masa datang.
Hadits-hadits pada bagian ini kita ambil dari kitab Al-Muntakhobu Minas Sunnah (Hadits-hadits pilihan).
1. Keutamaan Silaturahim
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ قَالَ مَا لَهُ مَا لَهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ ” .رواه البخاري .
Teks Hadits dan penjelasannya:
Dari Abu Ayyub Al-Anshori RA bahwa ada seorang berkata kepada Nabi SAW, “Beritahukanlah kepadaku tentang satu amalan yang memasukkan aku ke surga. Seseorang berkata, ”Ada apa dia? Ada apa dia?” Rasulullah SAW berkata, ”Apakah dia ada keperluan? Beribadahlah kamu kepada Allah jangan kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tegakkan shalat, tunaikan zakat, dan bersilaturahimlah.” (HR. Bukhari).
Penjelasan:
Ar-Rahim: bermakna kerabat dekat. Mereka adalah yang memiliki nasab baik mewarisi atau tidak, memiliki hubungan atau tidak.
Abu Ayyub: bernama Kholid bin Zaid dari kaum Anshar RA.
Yang dimaksud seseorang itu adalah Abu Ayyub. Beliau menyebutkan dengan nama samaran dan menyembunyikannya nama aslinya untuk kebaikan dirinya. Pendapat yang lain mengatakan dia adalah Ibnu Al-Muntafiq bernama Luqait bin Shabrah.
Para sahabat berkata ada apa gerangan ماله ماله kata ini menunjukkan kata tanya استفهام dan diulang-ulangnya dua kali untuk menunjukkan kata penegasan للتأكيد.
Yang dimaksud perkataan Rasulullah SAW arobun adalah pertanyaan karena kebutuhan yang mendesak.
Kata arobun ma lahu merupakan satu kata, adapun huruf mim yang berada di tengah-tengah antara kata arob dan lahu merupakan kata tambahan. Pendapat yang lain merupakan kata mim ini tersirat dan terpesan dengan arti besar dan mendesak sehingga arti secara keseluruhan adalah kebutuhan yang sangat besar dan mendesak.
Dalam riwayat lain ariba berarti butuh yang artinya dia bertanya karena ada kebutuhan atau bisa juga berarti bijak terhadap pertanyaan dan jenius dalam bertanya.
Di riwayat lain ariba berarti kehati-hatian contohnya, huwaariba artinya dia pintar dan hati-hati terhadap apa yang ia tanya karena bertanya membawa manfaat baginya.
Yang dimaksud menunaikan zakat adalah zakat wajib ini terbukti dengan dihubungkannya kalimat shalat dengan zakat.
Yang dimaksud dengan silaturahim adalah kamu berbuat baik kepada kerabatmu sesuai dengan keadaanmu dan keadaan mereka baik berupa infak, menyebarkan salam, berziarah membantu kebutuhan orang lain. Makna secara keseluruhan arti silaturahim adalah memberikan yang baik kepada orang lain dan menolak sedapat mungkin hal-hal yang buruk terhadap orang lain sesuai kemampuan.
Digabungkan kata shalat dengan sesudahnya juga berarti menggabungkan kata khusus dengan umum, ini untuk menunjukkan perkataan baginda Rasulullah SAW mencangkup seluruh ibadah.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20314/hadits-hadits-yang-terkait-dengan-silaturahim-bagian-ke-1/#ixzz1x4HyzOWT
Tiga Ciri Orang Ikhlas
Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.
Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”
Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/582/tiga-ciri-orang-ikhlas/#ixzz1x4HWP3AE
Pergaulan Islami
A. Mukaddimah
Allah
Menjadikan manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya, perbedaan itu
terjadi dalam beberapa hal, antara lain Agama, jenis kelamin, warna kulit, adat
istiadat, budaya, bahasa, suku bangsa dan lain-lainnya, hal itu telah menjadi
sunnatullah sebagaimana firmannya dalam A-Qur’an, Surat Al Hujurat ayat 13 yang
berbunyi :
“Yaa ayyuhannas inna
kholaqnakum min dzakarin wa unsta
wajaalnaakum suuban waqobaila lita’arofu inna akromakum indallohi atqoqum “
artinya : Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan aku menjadian kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal satu dengan lainnya,
sesungguhnya orang yang paling mulya diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa.
Ayat
Allah ini memberi petunjuk dan motivasi kepada manusia, agar melakukan
pergaulan atau ber-intraksi sosial antara satu dengan lainnya, baik dengan
teman sebaya, teman sejenis maupun teman lain jenis. Pergaulan juga dilakukan
dengan orang yang berbeda Agama, bahasa, adat istiadat dan budayanya. interaksi
sosial dalam pergaulan itu hendaknya di peroyeksikan sebagai wahana saling
mengenal, membaca tabiat kelebihan dan pengalaman bangsa yang satu dengan
bangsa yang lainnya.
B. Pergaulan Nabi
Muhammad SAW.
Perilaku
Nabi Muhammad SAW adalah Uswatun Khasanah yang syara’ dengan keteladanan baik
ketika beliau di mekkah maupun di madinah. Beberapa perilaku kehidupan beliau
yang dapat dijadikan model pergaulan bagi umat manusia ialah ketika hijrah dari
mekkah ke madinah pada tahun 622 Masehi. Perbedaan suku bangsa antara kaum
muhajirin mekkah dan kaum anshor di madinah, tidak menghalangi mereka dalam
melakukan interaksi sosial/ pergaulan. Dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
kaum muhajirin dan anshor dapat dipersatukan. Dengan Tauhidullah mereka merasa
dan mengakui Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi bersaudara meski
berbeda suku bangsa dan puncaknya ialah mereka mampu menyatakan diri sebagai
saudara seperti satu tubuh dan ajaran satu tubuh (Al-Wahdah Al-Jasadiyah)
menghiasi pergaulan kesehariannya baik dalam beribadah, berbisnis, berpolitik,
maupun dalam kancah pergaulan yang lainnya.
Dengan
pemeluk agama lain Nabi Muhammad SAW juga menjalin pergaulan dan perjanjian
kerjasama yang dituangkan dalam piagam madinah. Inti dari perjanjian kerjasama
itu ialah kaum muslimin dan non muslim di madinah menyatakan diri bersedia
hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) dibawah kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW. Nabi juga menjalin hubungan diplomatik dengan penguasa non
muslim. Beliau kirimkan surat kepada gubernur Mukaukis di Mesir, Kaisar
Heraklius di Romawi, Raja Kisro II di Persi, dan penguasa – penguasa lain
disekitar mekkah dan madinah. Terdapat kisah menarik dari pergaulan Nabi dengan
para penguasa tetangga itu diantaranya hubungan diplomatik dengan gubernur
mukaukis mesir beliau dihadiahi seorang putri gubernur mesir itu bernama “
Maria Al Kittiyah” untuk dipersunting Nabi
sebagai istri dan hasil perkawinannya dikaruniai seorang putra bernama “ sayyid
thohir”.
Impelementasi
pergaulan antar manusia dan antar bangsa itu telah menjadi kenyataan dan bahkan
menjadi kebutuhan dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan beragama,
berpolitik, ekonomi dan sektor-sektor publik lainnya, kita lihat misalnya dalam
kehidupan beragama ketika orang menunaikan Ibadah Haji, dalam berpolitik
perjanjian bilateral antara dua Negara sering dilakukan oleh Kepala Negara satu
dengan yang lainnya, demikian pula perjanjian multilateral antara berbagai
Negara juga sering terjadi. Kehadliran organisasi PBB, konferensi Asia Afrika
Organisasi konferensi Islam { OKI } dan Asean menjadi bukti betapa pentingnya
pergaulan sesama bangsa itu, dan dengan pergaulan itu hal-hal yang jauh menjadi
dekat, yang sulit menjadi mudah, yang berat menjadi ringan, yang lambat menjadi
cepat di capai, terlebih pada era gelobalisasi dan abad informasi. Pergaulan
antar manusia barangkali sudah menjadi rukun kehidupan yang tidak bisa dihindari.
C. Pergaulan Islami
Islam
jelas mengajarkan dan mendorong manusia agar melakukan pergaulan dalam rangka
mengenal satu dengan yang lainnya { dalam rangka ta’aruf }, pertanyaannya yang
muncul kemudian ialah bagaimana pergaulan yang Islami itu? bagaimana pergaulan
mesti dilakukan dengan tidak melanggar
ajaran Islam, ketika harus bergaul dengan : teman sebaya, dengan sesama jenis,
dengan lain jenis dan dengan orang lain Agama. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu Islam menunjukkan ketinggian dan keluhuran ajarannya,
karena pada perinsipnya ajaran Islam justru memberi ruang seluas-luasnya pada
manusia untuk melakukan pergaulan sesama manusia, meski berbeda Agama, jenis
kelamin, warna kulit, adat istiadat, budaya, bahasa, suku bangsa dan
lain-lainnya. Akan tetapi pergaulan itu adalah yang dilandasi oleh etika dan
penghargaan terhadap nilai-nilai Agama, adat istiadat dan budaya serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain pergaulan Islami
adalah bentuk intraksi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan
(teoisme), nilai kemanusiaan (Humanisme), nilai persamaan (Egaliterianisme),
nilai perdamaian (koeksistentionisme) dan nilai keadilan (justisisme). Bertolak
dari nilai-nilai tersebut pergaulan Islami karenanya tidak memberikan
kesempatan kepada manusia untuk melakukan pergaulan bebas tanpa batas, meskipun
dengan dalih HAM dan kebebasan. Budaya free love, free sex, kumpul kebo dan
semacamnya yang berakibat timbulnya penyakit Aids yang dialami sebagaian umat
manusia jelas tidak islami dan bertentangan
dengan ajaran Islam.
Dalam Al-Qur’an Surah Al
Isra’ Ayat 32
Allah berfirm”an :
” Wala Taqrobuzzina
innahu kana faachisatan wasaa’a sabiila “
Artinya : Dan janganlah
kamu mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang kotor
dan jalan yang buruk.
Ayat
ini telah jelas memberi peringatan kepada manusia terlebih orang-orang yang
beriman agar jangan mendekati zina lebih-lebih melakukannya dalam bentuk
pergaulan bebas, dalam bentuk free sex, be sex dan heterosex yang banyak
menimbulkan dampak negatif bagi timbulnya penyakit Aids yang belum ada obatnya.
Ajaran
kreatif yang ditunjukkan oleh agama Islam agar manusia selalu berada dalam
koridor pergaulan Islami ialah dengan
jalan menahan pandangan antara pria dan wanita dan menjaga kemaluannya serta
menutup auratnya. hal itu perlu dilakukan semata-mata untuk menjaga harkat dan
martabat kemanusiaan.
Allah
berfirman dalam surah Annur ayat 30-31 yang artinya : ”Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman : hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah
maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman
hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami
mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau
saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam atau budak-budak
yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan
terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.”
Masih
dalam kerangka menjaga pergaulan agar sesuai dengan ajaran Islam Rasulullah
Muhammad SAW bersabda:
“La yakhluwanna rojulun
biimroatin illa ma’adzii muhrimin”
Artinya : Jangan
sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali dengan muhrimnya.(Rowahul
Buchari - Muslim)
Bertolak
dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi tersebut dapat dijelaskan bahwa
pergaulan islami adalah pergaulan yang dilandasi oleh ketaatan terhadap
aturan-aturan Allah dan Rasulnya seperti menahan pandangganya apabila bertemu
dengan lain jenis, menutup kemaluan dan menjaga auratnya dan tidak menampakkan
aurat perhiasannya itu kepada publik kecuali kepada komunitas yang diperbolehkan
oleh Allah serta tidak membiarkan diri kepada wanita melakukan bepergian
sendirian tanpa disertai mukrimnya.
Hanya
dengan ketaatan dan kesediaan mengikuti aturan-aturan Allah dan Rasulnya maka
pergaulan manusia antar bangsa bukan saja menghasilkan keuntungan dan mengenali
bangsa lainnya. Lebih dari itu pergaulan
itu juga dapat mengantarkan manusia menjadi hamba Allah dan kholifatullah yang
selamat di Dunia dan sejahtera di akhirat.
AL - ISLAM
Muqadimah
Ketika Allah SWT menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan bagi kaum muslimin, tentulah Allah sudah mengetahui akan berbagai hal yang akan dihadapi oleh manusia (baca; kaum muslimin) itu sendiri. Karena Islam menginginkan adanya penyelesaian dan kedamaian atas segala hal yang menimpa manusia dalam kehidupan mereka. Dan seperti itulah sesungguhnya profil al-Islam. Islam merupakan pegangan hidup manusia yang mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat, serta mampu mengentaskan segala problematika yang mereka hadapi.
Sejarah telah memperlihatkan kepada kita, betapa Islam mampu menjadi poros dunia yang memimpin serta menguasai peradaban dalam waktu yang relatif lama. Dan jika diperhatikan, kejayaan dan kemajuan Islam sangat identik dengan kekomitmenan mereka terhadap Islam. Demikian juga sebaliknya, ketika komitmen tersebut telah meluntur maka kejayaan Islampun mulai pudar, seiring pudarnya keimanan kaum muslimin. Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya telah mengingatkan kepada kita:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِهِ
(وراه مالمك)
‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan pernah tersesat selagi masih berpegang teguh pada keduanya; yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunah nabinya (al-Hadits).’ (HR. Imam Malik)
Kemunduran kaum muslimin juga merupakan bagian dari ‘kesesatan’ sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Karena dalam kondisi mundur, sangat mudah bagi musuh-musuh Islam untuk melancarkan berbagai hujaman kepada Islam, baik berbentuk politik, ekonomi, militer, pendidikan dan lain sebagainya, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Kemudian kemunduran seperti inipun disebabkan karena mengendurnya komitmen kaum muslimin terhadap Islam. Untuk itulah, perlu kiranya bagi kita untuk mengkaji ulang tentang hakekat dinul Islam secara utuh dan menyeluruh agar kita dapat kembali meraih kejayaan yang telah hilang dari tangan kita.
Mengenal Islam
Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.
الإسلام مصدر من أسلم يسلم إسلاما
Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah:
1. Berasal dari ‘salm’ (السَّلْم) yang berarti damai.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman (QS. 8 : 61)
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada perdamaian. Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman : (QS. 49 : 9)
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Sebagai salah satu bukti bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian adalah bahwa Islam baru memperbolehkan kaum muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 22 : 39)
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.”
2. Berasal dari kata ‘aslama’ (أَسْلَمَ) yang berarti menyerah.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya. Menunjukkan makna penyerahan ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: (QS. 4 : 125)
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
Sebagai seorang muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya. Dalam sebuah ayat Allah berfirman: (QS. 6 : 162)
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Karena sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, dengan mengikuti sunnatullah-Nya. Allah berfirman: (QS. 3 : 83) :
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.”
Oleh karena itulah, sebagai seorang muslim, hendaknya kita menyerahkan diri kita kepada aturan Islam dan juga kepada kehendak Allah SWT. Karena insya Allah dengan demikian akan menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang (baca; mutma’inah).
3. Berasal dari kata istaslama–mustaslimun (اسْتَسْلَمَ - مُسْتَسْلِمُوْنَ): penyerahan total kepada Allah.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 37 : 26)
بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ
“Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.”
Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai seorang muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah SWT. Dimensi atau bentuk-bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah adalah seperti dalam setiap gerak gerik, pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai sisi kehidupan yang bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya karena Allah dan menggunakan manhaj Allah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 2 : 208)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.
4. Berasal dari kata ‘saliim’ (سَلِيْمٌ) yang berarti bersih dan suci.
Mengenai makna ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 89):
إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Dalam ayat lain Allah mengatakan (QS. 37: 84)
إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakekatnya, ketika Allah SWT mensyariatkan berbagai ajaran Islam, adalah karena tujuan utamanya untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia. Allah berfirman: (QS. 5 : 6)
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah sesungguhnya tidak menghendaki dari (adanya syari’at Islam) itu hendak menyulitkan kamu, tetapi sesungguhnya Dia berkeinginan untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
5. Berasal dari ‘salam’ (سَلاَمٌ) yang berarti selamat dan sejahtera.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: (QS. 19 : 47)
قَالَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan juga keselamatan pada setiap insan.
Adapun dari segi istilah, (ditinjau dari sisi subyek manusia terhadap dinul Islam), Islam adalah ‘ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum/ aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju ke kebahagiaan dunia dan akhirat.’
Definisi di atas, memuat beberapa poin penting yang dilandasi dan didasari oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara poin-poinnya adalah:
1. Islam sebagai wahyu ilahi (الوَحْيُ اْلإِلَهِي)
Mengenai hal ini, Allah berfirman QS. 53 : 3-4 :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
2. Diturunkan kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW) (دِيْنُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ)
Membenarkan hal ini, firman Allah SWT (QS. 3 : 84)
قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."
3. Sebagai pedoman hidup (مِنْهَاجُ الْحَيَاةِ)
Allah berfirman (QS. 45 : 20)
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.
4. Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
(أَحْكَامُ اللهِ فِيْ كِتَابِهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ)
Allah berfirman (QS. 5 : 49-50)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
5. Membimbing manusia ke jalan yang lurus. (الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ)
Allah berfirman (QS. 6 : 153)
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
6. Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.(سَلاَمَةُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ)
Allah berfirman (QS. 16 : 97)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Keuniverselan Islam
Islam merupakan pedoman hidup yang universal, yang mencakup segala aspek kehidupan manusia dalam semua dimensi waktu, tempat dan sisi kehidupan manusia.
1. Mencakup seluruh dimensi waktu
Artinya bahwa Islam bukanlah suatu agama yang diperuntukkan untuk umat manusia pada masa waktu tertentu, sebagaimana syariat para nabi dan rasul yang terdahulu. Namun Islam merupakan pedoman hidup yang abadi, hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 21:107):
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Rahmat bagi semesta alam artinya bagi seluruh makhluk Allah di muka bumi ini sepanjang masa. Rasulullah SAW sendiripun diutus sebagai nabi dan rasul terakhir yang ada di muka bumi, yang menyempurnakan syariat nabi-nabi terdahulu. Allah berfirman (QS. 33 : 40)
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Sebagai nabi dan rasul terakhir berarti tidak akan ada lagi nabi dan rasul yang lain yang akan menasakh (menghapus) syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah SAW lakukan terhadap syariat para nabi dan rasul yang lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah nabi Muhammad merupakan risalah abadi hingga akhir zaman.
2. Mencakup seluruh dimensi ruang
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan pedoman hidup yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan geografis tertentu, seperti hanya disyariatkan untuk suku atau bangsa tertentu. Namun Islam merupakan agama yang disyariatkan untuk seluruh umat manusia, dengan berbagai bangsa dan sukunya yang berbeda-beda. Allah SWT berfirman (QS. 34 :28)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
Dari ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk orang Arab secara khusus, namun juga untuk orang Eropa, Rusia, Asia, Cina dan lain sebagainya.
3. Mencakup semua sisi kehidupan manusia.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan pedoman hidup manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan tidak hanya agama yang mengatur peribadahan saja sebagaimana yang banyak difahami oleh kebanyakan manusia pada saat ini. Sesungguhnya Islam mencakup seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia, diantaranya adalah:
a. Peribadahan
QS. 51 : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
b. Akhlak (Etika/ Tata krama/ Budi Pekerti)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak/ moral.”
(HR. Ahmad)
c. Ekonomi
QS. 59 : 7
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.“
d. Politik
QS. 5 : 51
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
e. Sosial
QS. 5 : 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
f. Pendidikan
QS. 31 : 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Karakteristik Islam
Sebagai agama terakhir yang sempurna, Islam memiliki karakteristik (baca; khasa’ish) yang membedakannya dengan agama-agama yang terdahulu. Diantara karakteristik Islam adalah:
Pertama : Robbaniyah (الربانية)
Karakter pertama dinul Islam, adalah bahwa Islam merupakan agama yang bersifat robbaniyah, yaitu bahwa sumber ajaran Islam, pembuat syari’at dalam hukum (baca; perundang-undangan) dan manhajnya adalah Allah SWT, yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, baik melalui Al-Qur’an maupun sunnah. Allah SWT berfirman QS. 32 : 1-3:
الم * تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لاَ رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ*
Alif Laam Miim. Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: "Dia Muhammad mengada-adakannya". Sebenarnya Al Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.
Dengan karakteristik ini, Islam sangat berbeda dengan agama manapun yang ada di dunia pada saat ini. Karena semua agama selain Islam, adalah buatan manusia, atau paling tidak terdapat campur tangan manusia dalam pensyariatannya.
Kedua : Syumuliyah / universal (الشمولية)
Artinya bahwa karakteristik Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Menyentuh segenap dimensi, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dsb. Mengatur manusia dari semenjak bangun tidur hingga tidur kembali. Merambah pada pensyariatan dari semenjak manusia dilahirkan dari perut ibu, hingga ia kembali ke perut bumi, dan demikian seterusnya. Perhatikan firman Allah QS. 2 : 208.
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengemukakan:
“Islam adalah sistem yang syamil ‘menyeluruh’ mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”
Ketiga : Tawazun/ Seimbang (التوازن)
Karakter ketiga agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang tawazun (seimbang). Artinya Islam memperhatikan aspek keseimbangan dalam segala hal; antara dunia dan akhirat, antara fisik manusia dengan akal dan hatinya serta antara spiritual dengan material, demikian seterusnya. Pada intinya dengan tawazun ini Islam menginginkan tidak adanya ‘ketertindasan’ satu aspek lantaran ingin memenuhi atau memuaskan aspek lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam agama lain. Seperti tidak menikah karena menjadi pemuka agamanya, atau meninggalkan dunia karena ingin mendapatkan akhirat. Konsep Islam adalah bahwa seorang muslim yang baik adalah seorang muslim yang mempu menunaikan seluruh haknya secara maksimal dan merata. Hak terhadap Allah, terhadap dirinya sendiri, terhadap istri dan anaknya, terhadap tetangganya dan demikian seterusnya.
Keempat : Insaniyah (الإنسانية)
Karakter yang keempat adalah bahwa Islam merupakan agama yang bersifat insaniyah. Artinnya bahwa Islam memang Allah jadikan pedoman hidup bagi manusia yang sesuai dengan sifat dan unsur kemanusiaan. Islam bukan agama yang disyariatkan untuk malaikat atau jin, sehingga manusia tidak kuasa atau tidak mampu untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, Islam sangat menjaga aspek-aspek ‘kefitrahan manusia’, dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga dari sini, Islam tidak hanya agama yang seolah dikhususkan untuk para tokoh agamanya saja (baca ; ulama). Namun dalam Islam semua pemeluknya dapat melaksanakan Islam secara maksimal dan sempurna. Bahkan bisa jadi, orang awam akan lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah dari pada seorang ahli agama. Karena dalam Islam yang menjadi standar adalah ketakwaannya kepada Allah.
Kelima : Al-Adalah / Keadilan (العدالة)
Karekteristik Islam berikutnya, bahwa Islam merupakan agama keadilan, yang memiliki konsep keadilan merata bagi seluruh umat manusia, termasuk bagi orang yang non muslim, bagi hewan, tumbuhan atau makhluk Allah yang lainnya. Keadilan merupakan inti dari ajaran Islam, apalagi jika itu menyangkut orang lain. Allah berfirman: (QS. 5 : 8)
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Berbuat adillah kalian, karena keadilan itu dapat lebih mendekatkan kalian pada ketaqwaan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian kerjakan.”
Inilah beberapa karakteristik terpenting dari agama Islam. Di luar kelima karakteristik ini, sesungguhnya masih banyak karakteristik Islam lainnya. Kelima hal di atas hanyalah sebagai contoh saja.
Penutup
Inilah sekelumit informasi mengenai Al-Islam, yang tidak lain dan tidak bukan adalah agama yang benar-benar bersumber dari Allah SWT, yang tiada keraguan sedikitpun mengenai kebenarannya. Islam merupakan agama sempurna yang menyempurnakan agama-agama terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya sendiri.
Tiada jalan bagi kita semua melainkan hanya menjadikan Islam sebagai pegangan hidup dalam segala hal, dalam beribadah, bermuamalah, berpolitik, berekonomi, berpendidikan, bersosial dan lain sebagainya. Kebagahian merupakan hal yang insya Allah akan dipetik, oleh mereka-mereka yang memiliki komitmen untuk melaksanakan Islam secara kaffah, sebagaimana para pendahulu-pendahulu kita. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamab-Nya yang baik. Amiin.
Wallahu A’lam Bishowab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Hadiri, Khairuddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Cet. V – 1996 / 1417 H. Jakarta : Gema Insani Press.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Zaidan, Abdul Karim. Ushul al-Da’wah. Cet. V – 1996/ 1417 H. Beirut – Libanon : Mu’assasatur Risalah.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
Istiqomah
Sarahan :
Keimanan seseorang muslim yang mencakupi tiga unsur di atas mesti selalu dipelihara dan dijaga dengan sikap istiqomah. Istiqomah adalah konsisten, tetap dan teguh. Tetap pada pendirian, tidak berubah dan tahan uji. Sikap istiqomah akan melahirkan tiga hal yang merupakan ciri orang-orang beriman sempurna, iaitu :
Syajaah (keberanian) muncul karena keyakinan sebagai hamba Allah yang selalu dibela dan didukung Allah. Tidak takut menghadapi tantangan hidup, siap berjuang untuk tegaknya yang haq (benar). Keberanian juga bersumber kepada keyakinan terhadap qadha dan qadar Allah yang pasti. Tidak takut pada kematian karena kematian di jalan Allah merupakan anugerah yang selalu dirindukannya.
Itminan (ketenangan) berasal dari keyakinan terhadap perlindungan Allah yang memelihara orang-orang mukmin secara lahir dan batin. Dengan senantiasa ingat pada Allah dan selalu berpanduan kepada petunjukNya (kitabullah dan sunnah), maka ketenangan akan selalu hidup di dalam hatinya.
Tafaul (optimis), meyakini bahawa masa depan adalah milik orang-orang yang beriman. Kemenangan ummat Islam dan kehancuran kaum kufar sudah pasti. Mukmin menyadari bahawa amal perbuatan yang dilakukannya tidak akan sia-sia, melainkan pasti dibalas Allah dengan pembalasan yang sempurna.
Q.11:112-113, istiqomah artinya tidak menyimpang atau cenderung pada kekufuran. Q.17:73-74, istiqomah tetap teguh, tahan dan kuat dalam menghadapi dan melaksanakan perintah Allah. Q.42:15, terus berjuang menyampaikan ajaran Allah dengan tidak mengikuti hawa nafsu. Hadits : Abi Amr atau Abi Amrah Sofyan bin Abdillah, ia berkata : “aku berkata : Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku tentang suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seseorang kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasulullah, katakanlah : aku telah beriman kepada Allah, kemudian berlaku istiqomahlah kamu”. (Muslim).
Q.41:30-32, orang yang beristiqomah didukung Malaikat yang akan menjadikannya berani, tenang dan optimis. Q.9:52, sumber keyakinan tentang qadha dan qadar yang menimbulkan keberanian, kecelakaan atau kemudharatan hanyalah ketentuan Allah belaka. Q.3:157-158, kemuliaan merupakan anugerah Allah bagi orang-orang mukmin sehingga mereka tidak takut menyampaikan risalah kebenaran, lihat Q.33:39.
Q.13:28, ketenangan dapat diperoleh dengan mengingat Allah. Q.47:7, 3:173, 33:23, ketenangan yang diperoleh karena tawakkal terhadap janji perlindungan Allah yang pasti sehingga timbul pula keberanian menghadapi musuh. Ibnu Taimiyah berkata, “apa yang hendak dilakukan musuh-musuhku terhadapku ? Sesungguhnya surga aku terletak dihatiku. Dimanapun aku berada ia selalu bersamaku. Sesungguhnya kematianku adalah syahid. Penjaraku adalah rasa manis, sedangkan mengusirku bagiku adalah travelling. Ibnu Qayyim mengambil perkataan seorang alim “sesungguhnya kita berada dalam kelezatan (hati) yang seandainya anak-anak raja mengetahuinya tentu mereka ingin mengambilnya dengan pedang-pedang mereka.
Q.3:160, optimis bahawa dengan pertolongan Allah tak akan ada yang dapat mengalahkan. Q.33:22-23, contoh optimis para sahabat Rasul di perang Ahzab. Hadits, Rasulullah yakin akan mengalahkan Rumawi dan Parsi dengan menjanjikan kepada Saraqah bin Malik akan memberikan gelang dan mahkota Parsi dengan keislamannya. Hal ini kemudian terbukti dengan kemenangan kaum muslimin dalam perang Qadissiyya.
IMAN
Iman.
Sarahan :
Syahadah yang dinyatakan seorang muslim penuh kesadaran sebagai sumpah dan janji setia ini merupakan ruh iman, iaitu :
Ucapan (qoul) yang senantiasa sesuai dengan isi hatinya yang suci. Perkataan maupun kalimat yang keluar dari lidahnya yang baik serta mengandungi hikmah. Syahadah diucapkan dengan penuh kebanggaan iman (isti’la-ul iman) berangkat dari semangat isyhadu biannaa muslimin.
Membenarkan (tasydiq) dengan hati tanpa keraguan. Iaitu sikap keyakinan dan penerimaan dengan tanpa rasa keberatan atau pilihan lain terhadap apa yang didatangkan Allah.
Perbuatan (amal) yang termotivasi dari hati yang ikhlas dan kefahaman terhadap maksud-maksud aturan Allah. Amal merupakan cerminan dari kesucian hati dan upaya untuk mencari redha Ilahi. Amal yang menunjukkan sikap mental dan moral Islami yang dapat dijadikan teladan.
Ketiga perkara diatas tidak terpisahkan sama sekali. Seorang muslim yang tidak membenarkan ajaran Allah dalam hatinya bahkan membencinya, meskipun kelihatan mengamalkan sebahagian ajaran Islam adalah munafiq I’tiqodi yang terlaknat. Muslim yang meyakini kebenaran ajaran Islam dan menyatakan syahadatnya dengan lisan tetapi tidak mengamalkan dalam kehidupan adalah munafiq amali. Sifat nifaq dapat terjadi sementara terhadap seorang muslim oleh karena berdusta, menyalahi janji atau berkhianat.
Q.49:15, 4:65, 33:36, Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan menyeluruh tanpa rasa keberatan, kepercayaan tanpa pilihan lain terhadap semua keputusan Allah. Q.3:64, sikap hidup yang merupakan cermin identiti Islam.
Q.4:123-125, Iman bukanlah hanya angan-angan, tetapi sesuatu yang tertanam di dalam hati dan harus diamalkan dalam bentuk praktikal. Amal yang dikerjakan harus merupakan amal sholeh yang dilakukan dengan ihsan dan penyerahan yang sempurna kepada kehendak Allah. Dalam melakukan amal tersebut, seorang mukmin merasa dikawal oleh Allah SWT.
Q.2:80, diantara kekeliruan ummat Islam adalah mencontoh sikap Yahudi. Misalnya merasa bahawa neraka merupakan siksaan yang sebentar sehingga tidak apa memasukinya. Atau mereka merasa akan masuk surga semata-mata karena imannya sehingga tidak perlu beramal sholeh lagi.
Q.2:8, 63:1-2, 48:11, Ucapan lisan tanpa membenarkan dengan hati adalah sikap nifaq I’tiqodi. Berbicara dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya.
Hadits. Tanda-tanda munafiq ada tiga. Jika salah satu ada pada seseorang, maka ia merupakan munafiq sebahagian. Bila keseluruhannya terdapat, maka ia munafiq yang sesungguhnya iaitu : bila berbicara ia berdusta, bila berjanji menyalahi, dan bila diberi amanah ia berkhianat. Ketiga tanda ini termasuk jenis munafiq amali.
Imam Hasan Basri berkata, “Iman bukanlah angan-angan, bukan pula sekedar hiasan, tetapi keyakinan yang hidup di dalam hati dan dibuktikan dalam amal perbuatan”.
Madlul Syahadah.
Sarahan :
Pernyataan (ikrar), iaitu suatu statemant seorang muslim mengenai keyakinannya. Pernyataan ini sangat kuat karena didukung oleh Allah, Malaikat dan orang-orang yang berilmu (para nabi dan orang yang beriman). Hasil dari ikrar ini adalah kewajiban kita untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang diikrarkan.
Sumpah (qosam) iaitu pernyataan kesediaan menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan syahadah. Muslim yang menyebut asyhad berarti siap dan bertanggung-jawab dalam tegaknya Islam. Pelanggaran terhadap sumpah ini adalah kemunafikan dan tempat orang munafik adalah neraka jahanam.
Perjanjian yang teguh (mitsaq) iaitu janji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah yang terkandung dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul.
Q.3:18, syahadat yang berarti ikrar dari Allah, Malaikat dan orang-orang yang berilmu tentang Laa ilaha illa Allah. Q.7:172, ikrar tentang Rububiyatullah manusia merupakan alasan bagi ikrar tentang keesaan Allah. Q.3:81, ikrar para nabi mengakui kerasulan Muhammad SAW meskipun mereka hidup sebelum kedatangan Rasulullah SAW.
Q.63:1-2, syahadah berarti sumpah. Orang-orang munafiq berlebihan dalam pernyataan syahadahnya, padahal mereka tidak lebih sebagai pendusta. Q.4:138-145, beberapa ciri orang yang melanggar sumpahnya iaitu memberikan wala kepada orang-orang kafir, memperolok-olok ayat Allah, mencari kesempatan dalam kesempitan kaum muslimin, menunggu-nunggu kesalahan kaum muslimin, malas dalam sholat dan tidak punya pendirian. Orang-orang mukmin yang sumpahnya teguh tidak akan bersifat seperti tersebut.
Q.5:7, 2:285, syahadah adalah mitsaq yang harus diterima dengan sikap sam’an wa tho’atan didasari dengan iman yang sebenarnya terhadap Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir dan Qadar baik maupun buruk. Q.2:93, pelanggaran terhadap mitsaq ini berakibat laknat Allah seperti yang pernah terjadi pada orang-orang Yahudi.
Urgensi Tarbiyah
Setidaknya ada dua alasan mengapa tarbiyah Islamiyah menjadi hal yang sangat penting. Pertama, ditinjau dari aspek internal ajaran Islam, dan kedua, ditinjau dari aspek individu umat Islam.
A. Aspek Internal Ajaran Islam
Rasul diutus oleh Allah ke dunia ini adalah untuk mengeluarkan manusia dari kejahiliyahan, dan menjadikannya sebagai khairu ummah. Untuk melaksanakan tugas ini, Rasulullah melaksanakan sebuah metode pendidikan (tarbiyyah) yang bermula dari tilawah, kemudian tazkiyyah, dan setelah itu ta’limul kitab wal hikmah (2:151, dan 62:2).
Metode ini kami anggap paling tepat (atau bahkan baku) sebab, ketika Nabi Ibrahim AS berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka (anak cucu kami) seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (2:129), Allah menjawabnya dengan; “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu, mensucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa-apa yang belum kamu ketahui” (2:151). Pada do’a Nabi Ibrahim ta’limul kitab wal hikmah mendahului tazkiyyah dan pada jawaban Allah tazkiyyah mendahului ta’limul kitab wal hikmah. Metode ini terbukti mampu mencabut akar-akar kejahiliyahan dari dada ummat dan kemudian menjadikannya sebagai ummat yang terbaik.
Setelah jahiliyyah berhasil ditumbangkan pada masa rasul, ada yang beranggapan bahwa jahiliyyah tidah akan pernah muncul lagi. Seolah-olah, menurut mereka, jahiliyyah merupakan salah satu fase sejarah yang telah lampau dan tidak akan terulang lagi.
Salah bukti adanya anggapan (pandangan) ini adalah adagium yang dikembangkan oleh Dunlop, yang menyatakan: “Orang-orang Arab pada masa jahiliah suka menyembah patung dan berhala, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, suka minum khamr dan main judi, suka merampok dan menodong. Lalu datanglah Islam untuk melarang semua itu.”
Apa yang salah dari ungkapan di atas? Selintas ungkapan itu benar adanya. Islam diturunkan untuk menghancurkan kejahiliahan. Tetapi kalau dicermati secara lebih teliti, ungkapan yang dimuat dalam planning pendeta yang datang ke Mesir pada masa pendudukan Inggris itu, mengandung maksud untuk menggambarkan bahwa misi Islam telah selesai dan tak ada lagi peranan yang bisa dilakukan oleh Islam untuk kaum muslimin dan umat manusia lainnya.
Kalau sekarang umat menengok ke sekelilingnya, mereka tidak akan menemukan patung-patung sebagaimana yang disembah oleh orang Arab Jahiliah. Mereka juga tidak akan mendapati orang yang menguburkan anak perempuannya hidup-hidup. Lebih dari itu, mereka juga akan kesulitan untuk menemukan peminum khamr, pemain judi, dan perampok dalam bentuk tradisionalnya. Dengan hilangnya atribut-atribut kejahiliyyahan tersebut, apa lagi peran yang dapat dimainkan oleh Islam?
Demikianlah, dalam benak mereka, seolah Islam telah kehilangan misinya dan tak mungkin lagi melakukan peran baru. Sebab jahiliah, menurut mereka, telah berlalu dengan dibawanya Islam oleh Muhammad saw, sehingga sekarang ini tidak ada lagi jahiliah.
Benar, kalau kita melihat tampilan luarnya saja. Penyembahan patung-patung tidak ada lagi, anak-anak perempuan tidak lagi dikubur hidup-hidup, bahkan anak-anak perempuan diperjuangkan persamaan haknya. Tetapi kalau kita lihat tampilan dalam (hakikat/substansi) jahiliah itu, niscaya kita akan menjumpai bahwa kejahiliyahan pada zaman modern ini telah tampil dengan kuantitas dan kualitas yang jauh melebihi kejahiliahan Arab sebelum Islam.
Penyembah patung-patung mungkin telah tiada tetapi penyembah berhala-berhala maknawi (segala sesuatu yang berstatus berhala) jumlahnya telah melebihi setengah jumlah manusia dunia. Orang yang membunuh anak-anak perempuannya mungkin juga telah tiada, tetapi orang yang “membunuh” anak perempuannya dengan cara yang sangat canggih -yaitu dengan cara memberikan “kebebasan” dalam model pakaian, pergaulan, dan kebebasan lainnya- jumlahnya sangat besar. Demikian pula halnya dengan minuman keras dan judi, bentuk tradisionalnya memang hampir tidak ada lagi tetapi bentuk barunya, luar biasa banyaknya.
Untuk mengenali ada tidaknya jahiliyyah pada sebuah masyarakat, kita tidak dapat hanya mengandalkan pada penilaian tampilan-tampilan luarnya saja. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, penilaian harus dilakukan dengan membandingkan antara kondisi sebuah masyarakat dengan ciri-ciri khusus yang melekat pada masyarakat jahiliyyah. Ciri-ciri tersebut adalah; jahl (kebodohan), dzillah (kehinaan), faqr (kefakiran), dan tanafur (perpecahan).
Menurut istilah Al Quran, jahl mengandung makna tidak mengetahui hakikat Tuhan, menyangkut jiwa dan perilaku, dan tidak mengikuti apa yang diturunkan Allah. Beberapa contoh dari Al Quran, misalnya pada Al A’raf ayat 138, “Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai ke suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil.’” Yang dimaksud jahil di sini adalah tidak mengetahui hakikat Tuhan sehingga mendorong mereka menyuruh Musa membuat Tuhan berupa patung yang bisa disentuh dan dilihat untuk mereka sembah. Seandainya mereka tahu bahwa Allah Yang Maha Mencipta tak ada yang serupa dengan-Nya dan tak bisa dilihat dengan mata, niscaya mereka tak akan menuntut itu dari Musa.
“Mereka meyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini.” (QS 3:154) Orang jahiliah menduga bahwa seseorang bisa campur tangan bersama Allah menentukan suatu permasalahan. Sementara itu mereka tidak tahu bahwa hanya Allah saja yang mengatur segala sesuatu tanpa ada sekutu dan segala sesuatu itu hanya terjadi atas kehendakNya. Kejahilan mereka adalah pada sifat Allah yang mempunyai kewenangan mutlak.
“Yusuf berkata:’Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil.’” (Yusuf: 33). Jahil yang ditakuti Yusuf adalah perbuatan yang menyalahi perintah Allah dan yang diharamkannya.
Pada zaman modern ini betapa banyaknya orang yang menyembah tuhan lain untuk hal-hal “di luar agama”. Dan betapa banyaknya pula orang yang terjerumus dalam perbuatan yang Nabi Yusuf as berlindung kepada Allah untuk tidak melakukannya. Ini adalah sebagian bukti, bahwa orang-orang yang hidup pada zaman modern ini, juga masih mengidap penyakit “jahl”.
Di samping itu, untuk membuktikan bahwa karakteristik jahiliyyah yang lain –dzillah, faqr, dan tanafur- juga melekat sangat erat pada masyarakat di zaman modern ini, juga tidak terlalu sulit. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Muhammad Qutb menyebutnya sebagai jahiliyyah abad 20.
Itulah pandangan yang benar tentang jahiliyyah. Jahiliah tidak terbatas pada penyembahan patung, mengubur anak perempuan hidup-hidup, minum khamr, main judi atau melakukan perampokan. Semua itu hanya tampilan luar dari Jahiliah di Arab sebelum kedatangan Islam. Adapun jahiliah itu adalah suatu esensi yang darinya muncul tampilan luar tadi. Mungkin saja tampilannya berbeda menurut tempat dan waktu, sebagaimana tercatat dalam sejarah. Jahiliah bisa terulang kapan saja dan di mana saja, bila ada unsur dan sarana yang mendukungnya. Namun esensinya tetap sama, yaitu sama-sama tidak mengetahui hakikat Tuhan dan tidak mengikuti apa yang diurunkan Allah.
Dan esensi itu, sekarang ini melanda mayoritas manusia penghuni bumi. Artinya, kejahiliahan adalah sesuatu yang nyata pada hari ini yang menunggu kembalinya Islam untuk berperan. Mengembalikan umat manusia dari kejahiliahan, dari kesesatan (dhalalun mubin). “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Ali Imron : 164
Orang jahiliyah benar-benar sesat. Persis seperti orang yang terus-menerus berputar di dalam kota mencari jalan ke luar kota, tetapi ia tidak mendapatkannya. Ia telah kehilangan kompas dan petanya. Meskipun ia telah seharian mencari jalan keluar, tetap tak menemukannya.
Ia telah merasa menempuh jalan kehidupan dan sampai diujungnya. Tetapi ketika sampai di ujung apa yang dicari ternyata tidak ada di sana. Ia tak menemukannya. Ternyata perjalanan hidupnya telah salah arah. Salah orientasi. Perjalanannya tidak membawa ia kepada arti hidup sesungguhnya. Perjalanannya menjadi tidak berarti. Menjadi kehilangan makna. Itulah yang sekarang juga dirasakan oleh kejahiliahan Barat. Dan juga akan dirasakan oleh umat Islam ketika ia mengikuti arah perjalanan jahiliah Barat, dengan mencampakkan kompas dan peta yang Allah sudah persiapkan.
Untuk mengembalikan perjalanan sejarah kehidupan manusia dari kesalahan arah, diturunkanlah Islam dari sisi Allah SWT yang membawa misi untuk mengeluarkan manusia dari kungkungan lingkaran jahiliah menuju pencerahan kehidupan manusia berlandaskan petunjuk Allah. Sebagaimana telah kami sebutkan di awal pembahasan ini, misi itu direalisasikan dengan suatu proses, sebagaimana firman Allah QS 2:151, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami keapada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. Proses itu adalah tarbiyah Islamiyah atau pembinaan yang terdiri dari langkah-langkah tilawah (membaca/dibacakan), tazkiyah (pembersihan diri) dan ta’limul kitab wal hikmah (Al Quran dan Sunnah)
Hanya dengan proses tarbiyah seperti itulah kita akan memperoleh nikmat yang mengantarkan kita menuju khairu ummah “Kamu adalah sebaik-baik ummah yang dikeluarkan untuk manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan, melarang berbuat kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110) yang memiliki ciri-ciri; ilmu (pengetahuan/pemahaman), ‘izzah (terhormat), ghina (kekayaan), ukhuwah (persaudaraan).
B. Aspek individu
Dilihat dari sudut individu, manusia membutuhkan tarbiyah islamiyah karena dua hal; 1) hakikat setiap jiwa manusia membutuhkan pembinaan 2) realitas ummat dewasa ini yang terserang virus ghutsai.
1) Hakikat Setiap Jiwa Manusia Membutuhkan Pembinaan
Hakikat jiwa manusia selalu menghadapi dua persoalan, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, fitrah jiwa manusia senantiasa berada pada persimpangan jalan, jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah oarng yang mengotorinya” (91:8-10). Untuk bisa tetap bertahan pada jalan yang lurus (jalan takwa) manusia memerlukan pengawalan ketat secara terus-menerus. Hal ini hanya bisa terlaksana dengan tarbiyah islamiyah, yang senantiasa memastikan setiap individu berjalan di atas jalan ketakwaan.
Kalau boleh diibaratkan, jiwa manusia adalah seperti kereta yang ditarik oleh lima kuda. Kelima kuda itu adalah penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Setiap hari dan setiap saat kereta ini ditarik sesukanya oleh kuda penglihatan, kuda pendengaran, dan kuda-kuda indera lainnya. Kalau jiwa ini dibiarkan saja ditarik secara liar kesana kemari oleh kuda-kuda indera ini, ia akan selalu dalam kondisi kebingungan, tanpa arah, dan tidak tahu tujuan. Nafsu kalau dibiarkan akan menarik manusia menjauhi fitrahnya.
Oleh karena itu, kereta jiwa ini harus dikendalikan oleh kusir yang selalu memegang kendali kuda-kuda liar indera. Ia akan menundukkan pandangan manakala kuda penglihatan menarik kereta jiwa ke jalan mengumbar mata. Ia akan menutup telinga ketika kuda pendengaran mengajaknya mendengarkan perkataan yang mengotori jiwanya. Ia akan menghentikan langkahnya, ketika nafsu berusaha memerosokkan ke jurang dosa. Ia akan mengendalikan semuanya.
Namun itu bukan perkara mudah. Bahkan sang kusir kadang tidak mampu berbuat banyak, ketika kuda-kuda ini menariknya secara liar. Agar sang kusir ini mampu mengendalikan kudanya, ia harus dilatih dan dididik. Ia harus ditarbiyah.
Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya; “Ketahuilah di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah ia adalah hati.”
Melihat manusia, dikaitkan dengan hadits Rasul di atas, sebaiknya dimulai dari hatinya. Sebenarnya ia adalah makhluq spiritual (ruhani) yang mempunyai pengalaman manusia, dan bukan manusia yang mempunyai pengalaman spiritual. Kalau mau meluruskan arah hidupnya, maka luruskanlah dulu hati dan jiwanya, rahkan ruhaninya, bimbinglah jiwanya, kuatkanlah hatinya. Niscaya perjalanannya akan senantiasa benar. Agar kereta berjalan di jalan yang semestinya, dan tidak masuk ke dalam jurang, latihlah dan didiklah dulu kusirnya. Bimbinglah ia sampai mahir mengendalikan kuda.
Disamping persoalan internal tersebut, secara eksternal Umat Islam menghadapi musuh yang senantiasa menginginkan kekalahan umat islam (2:168-169). Musuh umat islam mengerahkan segala kekuatan dan kemampuannya, mereka membuat berbagai perencanaan dan kemudian merealisasikannya.
Untuk menggambarkan bagaimana musuh Islam ini senantiasa mengerahkan segala kekuatannya untuk menghancurkan Islam, kita simak penuturan ustadz Hasan Al Banna; “Sejalan dengan kekuatannya yang besar dan kekuasaannya yang luas, factor-faktor penghancur secara perlahan namun pasti merasuk ke sela-sela kehidupan umat qurani ini, ia semakin tumbuh, menyebar dan semakin lama semakin kuat, hingga mampu merobek bangunan ini dan mengikis habis pusat daulah islamiah yang pertama pada abad ke-6 hijriah oleh bangsa Tartar, kemudian yang kedua pada abad ke-14 hijriah. Dua penghancuran itu mewariskan kondisi umat yang bercerai-berai. Mereka hidup di negara-negara kecil yang sulit menuju kesatuan dan bangkit kembali.”
Aspek social, “orang-orang Eropa telah bekerja keras untuk menenggelamkan seluruh negeri Islam yang mereka kuasai dengan gelombang kehidupan materialis dengan gaya hidup rusak dan virus-virus yang mematikan. Mereka menjerumuskan negeri-negeri Islam itu ke dalam nasib buruk di bawah kekuasaannya. Disamping itu, Eropa berambisi kuat untuk memonopoli berbagai unsur kebaikan dan kekuatan ilmu pengetahuan, industri, dan system yang bermanfaat. Mereka telah membuat rencana dan melaksanakan langkah-langkah perang jenis ini secara sempurna dengan dukungan kelicikan politik dan kekuasaan militer hingga tercapailah apa yang mereka inginkan.”
“Gelobang itu menyebar secepat kilat sampai ke tempat-tempat yang belum terjamah sebelumnya dan menyentuh jiwa seluruh lapisan masyarakat. Musuh-musuh Islam telah berhasil menipu kaum intelektual muslim. Mereka letakkan tabir yang menutupi mata orang lain agar tidak bisa melihat mereka yang sebenarnya, dengan cara mengambarkan Islam dengan gambaran terbatas pada masalah-masalah aqidah, ibadah dan akhlaq, di samping spiritual, mistik, khurafat, dan berbagai fenomena keagamaan yang kering tak jelas sumbernya. Tipu daya ini ditopang dengan kebodohan kaum Muslimin terhadap agama mereka sehinga banyak di antara mereka yang merasa senang, tenteram, dan puas dengan persepsi tersebut. Persepsi tersebut melekat amat lama pada diri mereka hingga sulit memahamkan salah seorang di antara bahwa Islam adalah sebuah system social sempurna yang mencakup semua aspek kehidupannya.”
Hasil perpaduan “yang serasi” antara kebodohan ummat Islam dan tipu daya musuhnya adalah krisis ekonomi, krisis politik (hegemoni dan diktatorisme), krisis jati diri, pemikiran dan referensi, seperti yang kita saksikan pada hari-hari ini.
Untuk dapat keluar dari krisis multidimensional ini, diperlukan suatu kerja keras dan cerdas yang dibingkai dalam wadah amal jamai (kerja sama). Dan amal jamai tidak akan wujud kecuali apabila diawali dengan proses tarbiyah islamiyah para pendukungnya.
2) Realitas Ummat Dewasa Ini Yang Terserang Virus Ghutsai.
Seharusnya umat ini berjaya, dan memang mereka dilahirkan ke dunia untuk itu. Tetapi dewasa ini, kenyataannya tidaklah demikian. Kaum muslimin kini terpuruk dan terpinggirkan. Hampir di seluruh sisi kehidupan, mereka kehilangan peran utama. Umat ini lebih mirip dengan buih yang tidak punya arus. Persis seperti apa yang pernah diprediksi oleh Rasul.
“Akan datang suatu masa di mana umat-umat lain akan memperebutkan kalian, sama seperti anjing-anjing yang memperebutkan makanan” demikian rasul pernah bersabda kepada para sahabatnya. Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita sedikit ketika itu?” Rasulullah menjawab, “(Tidak) bahkan ketika itu sangat banyak, tetapi kalian itu bagai buih yang mengapung di atas arus air. Sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan sungguh Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian.” Salah seorang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rasulullah”? Rasululllah menjawb, “Cinta dunia dan takut mati.”
Penjelasan rasul ini menggambarkan secara gamblang bahwa sebab kelemahan dan kehinaan suatu kaum adalah kelemahan hati dan jiwa. Hati mereka kosong dari karakter luhur dan mulia, sekalipun jumlah mereka banyak dan secara materi mereka melimpah.
Itulah “virus” mematikan, yang lazim disebut virus buih (ghutsai). Virus ini membuat ummat islam menjadi ringan timbangannya, sehingga menjadikannya tidak punya arus. Virus ghutsai menyebabkan kaum muslimin menjadi santapan yang nikmat bagi para taghut (musuh-musuh Allah SWT). Penyebab timbulnya virus ghutsai ini adalah kecintaan kaum muslimin kepada dunia sekaligus membenci kematian.
Sesungguhnya suatu ummat yang telah terbuai dalam kenikmatan, terbuai oleh kemewahan, tenggelam dalam kemilau harta, tertipu pesona dunia, dan lupa kepada kemungkinan menghadapi tragedy dan kekerasan, serta perjuangan menegakkan kebenaran; kepada umat seperti itu, tinggal dikatakan kepada mereka, “Selamat jalan untuk kehormatan dan cita-cita.”
Berlarutnya krisis yang merundungi negeri ini merupakan contoh yang terlalu jelas untuk dilewatkan. Kita tidak perlu melihat secara detail bagaimana rakyat banyak telah terjangkiti penyakit jiwa ini. Cukuplah kita perhatikan bagaimana para pembesar negeri. Jangankan berkorban untuk mengangkat umat dan bangsa dari kehinaan, para pembesar itu justru mengeruk kekayaan rakyat dan memasukkan ke pundi-pundi kekayaan pribadi dan golongannya. Kekuasaan yang ada pada mereka tidak dipergunakan untuk melanyani umat, justru mereka memposisikan diri sebagai yang harus dilayani. Jiwa pengorbanan merosot ke titik nadir, dan memunculkan jiwa mencari korban.
Perilaku para pemimpin ini dituruti oleh generasi yang lebih muda. Mereka menjadi generasi yang kehilangan semangat juang dan berkorban untuk mengemban misi mulai kehidupan. Sementara itu mereka terlena oleh kenikmatan remeh-temeh, kesenangan sesaat. Mereka menjadi generasi hasil didikan generasi pendahulunya, sehingga hasilnya setali tiga uang, tidak terlalu jauh berbeda dengan seniornya.
Sekedar contoh, lihat apa yang terjadi. Dalam tiga tahun, pengguna narkoba di Jakarta mengalami peningkatan luar biasa, 400 persen. Tercatat, tahun 1996 ada 1.729 pengguna narkoba dan pada tahun 1999 naik menjadi 8.823 orang. Remaja di Jakarta dalam sehari membelanjakan uangnya sekitar Rp1,3 milyar hanya untuk membeli ekstasi, shabu-shabu, narkotika, dan obat-obatan terlarang lainnya.
Sebanyak 200 sekolah dari 600 SLTA di Jakarta telah masuk daftar hitam penyalahgunaan narkoba selama tahun 2000. Selain itu sebanyak 181 sekolah dari 600 SLTP juga tercantum dalam daftar hitam tersebut. Sekitar 1.200 pelajar SLTA tercatat kecanduan. Tidak kurang dari 1.100 pelajar SLTP terjerat kasus penyalahgunaan narkoba
Bercermin dari kondisi di atas, wajar memang kalau kemudian umat ini menjadi umat yang mempunyai hati yang lembek, loyo dan tidak berbobot. Maka menjadi semakin banyak bukti dari prediksi Rasulullah di atas.
Itu baru sekedar dilihat dari sisi moral. Kalau saja kita mau melihat secara lebih luas dan detail, niscaya kita akan semakin mengerti mengapa umat ini menjadi seperti buih yang tidak mampu membuat arus dan terjebak dalam krisis multi dimensional. Sisi ekonomi, perundangan, teknologi, pendidikan adalah bagian lain letak kelemahan umat, yang semakin menambah ketidakmampuannya membuat arus peradaban dunia.
Untuk menterapi virus tersebut, kita membutuhkan terapi yang disebut tarbiyah. Dengan proses tarbiyah, insya Allah akan menambah berat timbangan dan membuat arus, sehingga kita mampu menghancurkan taghut.
Solusi Islam
Semua alasan tersebut menjadikan tarbiyah menjadi penting dan urgen. Kegagalan pendidikan (sekolah) dalam mencetak kader-kader umat dan bangsa, membuat kita bertanya. Apa yang salah dengan system pendidikan kita?
Pendidikan telah mengalami penyempitan makna sekadar menjadi pengajaran dan pelatihan. Pembinaan, tarbiyah, pendidikan tidak identik dengan pengajaran dan pelatihan. Pelatihan itu berurusan dengan praktik, dengan belajar melakukan. Pengajaran lebih kepada transfer pengetahuan atau proses mengembangkan potensi intelektualitas. Sementara pendidikan, pembinaan dan tarbiyah adalah proses untuk menemukan dan kemudian mengaktualisasi segenap potensi diri manusia. Pembentukan karakter-karakter mulia manusia seperti integritas, tekad kuat, jujur, kerendahan hati, kesetiaan, keadilan, kesabaran, kesungguhan, lapang dada dan karakter mulia tidak lainnya mungkin dilakukan dengan pengajaran, ia hanya bisa dilakukan dengan pembinaan, pendidikan dan dilatih.
Yang terlupakan oleh metode pendidikan dewasa ini adalah bahwa manusia tidak saja mempunyai fisik dan pikiran, tetapi juga mempunyai hati. Ini yang jarang atau bahkan tidak pernah disentuh dalam dunia pendidikan. Bahkan barangkali dipandang tidak ada hubungan antara fisik dan akal dengan hati. Bukankah ini cara memandang manusia secara keliru?
Dibutuhkan suatu pendekatan yang komprehensif dalam mendidik umat. Hal terpenting yang harus menjadi perhatian pertama dalam mendidik umat adalah mengupayakan kebangkitan spiritual, kebangkitan ruhani, kehidupan hati, kebangkitan hakiki manusia dan perasaannya. Tidak cukup menjejali manusia dengan pengetahuan. Ia hanya akan menjadi orang yang tahu, punya pengetahuan. Tetapi kemauan seseorang untuk merealisasi pengetahuan menjadi karakter dan akhlaq diri tidak diperoleh dari pengajaran. Diperlukan wadah dan hati yang kuat dalam diri manusia yang akan diisi pengetahuan, agar bisa mendorongnya menjadi manusia yang mempunyai karakter luhur dan mulia.
Penting untuk menengok kepada Guru Besar Kehidupan, Rasulullah saw, bagaimana beliau mampu mendidik dan membina generasi terbaik umat manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi ini. Yang kemudian dari mereka nantinya dua imperium adidaya kala itu, Romawi dan Persi, bisa ditundukkan. Yang kemudian dari generasi ini memunculkan generasi yang memperbarui peradaban dunia. Memuliakan kemanusiaan manusia dan mengeluarkan dari kebinatangan manusia. Membebaskan manusia dari belenggu ikatan materi menuju ikatan ketauhidan.
Penting untuk disimak apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina dan mentarbiyah para sahabatnya, yaitu bahwa Rasulullah membina dan mempersiapkan para sahabatnya dengan pembinaan yang menyentuh seluruh aspek kehidupannya: ruhani, jasmani dan fikiran. Dan untuk membina kekuatan ruhani, kekokohan jiwa, pancaran spiritual, sampai-sampai dibutuhkan waktu paling tidak 13 tahun. Sebelum akhirnya Rasul mengajarkan aspek-aspek lain dari kehidupan ini. Dilihat dari sudut pandang seperti ini, bukankah apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini dalam mendidik umat menjadi terbalik?
Para pengikut Rasulullah dibentuk dan diproses melalui Tarbiyah Islamiyah yang merealisasikan ‘ubudiyahnya hanya kepada Allah saja; ‘ubudiyah yang meliputi i’tiqad, ibadah dan aturan yang benar-benar diterapkan dalam segala aktivitas hidup mereka. Proses ‘ubudiyah seperti ini akan membersihkan jiwa, hati, dan spiritualitas mereka dari beriman kepada selain Allah dan meluruskan aktivitas mereka dari orientasi yang lain daripada Allah semata-mata.
Mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Rasul, kebangkitan kembali umat ini memerlukan tarbiyah islamiyah. Model pembinaan yang komprehensif untuk membangkitkan umat dari keterpurukannya. Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti kurang lebih penjagaan, pengasuhan dan pendidikan. Tarbiyah Islamiyah adalah penjagaan, pengasuhan dan pendidikan berasaskan Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Sumber-sumber ini adalah sumber-sumber rabbani. Dengan sumber inilah generasi sahabat dididik oleh Rasulullah SAW sehingga melahirkan generasi rabbani yang mendapat julukan dan pujian dari Allah: “Kamu adalah sebaik-baik ummah yang dikeluarkan untuk manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan, melarang berbuat kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Tarbiyah ingin mewujudkan kondisi yang kondusif bagi manusia untuk dapat hidup di dunia secara lurus dan baik, serta hidup di akhirat dengan naungan ridho dan pahala Allah swt. Tarbiyah membentuk pribadi muslim yang mempunyai karakteristik: mempunyai aqidah yang lurus, ibadahnya benar, akhlak terpuji, fikiran yang kaya dengan ilmu, tubuh yang kuat, mampu berusaha untuk mencari rizki, mampu mengendalikan hawa nafsu dan mau melakukan mujahadah pada dirinya, memiliki waktu dengan teratur, urusan dan pekerjaannya ditata dan diatur dengan disiplin, dan bermanfaat bagi orang lain.
Tarbiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih, agar tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Keseimbangan potensi artinya kemunculan suatu potensi tidak boleh memandulkan potensi yang lain atau untuk memunculkan potensi yang satu dimandulkan potensi yang lain. Juga keseimbangan antara potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran; keseimbangan antara keruhanian manusia dan kejasmaniannya.
Tarbiyah mendorong seseorang untuk memiliki dinamika yang tinggi di seluruh kehidupannya bersama diri dan orang-orang yang ada disekitarnya, bahkan lingkungan alam sekitarnya. Tarbiyah istimewa karena mampu mengiringi fitrah manusia dalam menghadapi realitas hidupnya di bumi dan alam materi.
Tarbiyah islamiyah merupakan cara ideal berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (dengan kata-kata) atau tidak langsung (berupa keteladanan dan sarana yang lain), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menjuju kondisi yang lebih baik. Secara global tarbiyah islamiyah bertujuan membangun kepribadian Islam yang integral dalam segala sisi-sisinya, khususnya dalam sisi aqidah, ibadah, ilmu pengetahuan, budaya, akhlaq, perilaku, pergerakan, keoganisasian dan manajerial, sehingga seluruh kegiatan tarbiyah akan mengembangkan potensi ruhani, jasmani dan akal pikiran manusia.
Coba cermati firman Allah yang menciptakan manusia beserta segala kehidupannya, di surat Ali Imran 164: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Senada dengan ayat tersebut adalah surat Al Baqarah ayat 151: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Atau ayat 2 surat Al Jumuah: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang yang nyata.”
Banyak sisi yang bisa dilihat dari membaca ayat-ayat di atas. Dari sisi tarbiyah islamiyah kita bisa mengambil makna bahwa sebelumnya kaum mukmin ini benar-benar tersesat. Mereka menuhankan batu-batu yang dianggapnya bisa memberikan kebaikan dan mencegah keburukan dari mereka. Gaya hidup hedonisme orang Arab jahiliyah yang berkecenderungan kepada materialisme duniawi, tergambar dalam salah satu syair Tarafah pra Islam:
Cari aku di kumpulan orang-orang, kau akan menemukan aku di sana
Buru aku di kedai minuman, kau akan menangkapku di sana
Datangi aku di pagi hari, akan kuberi kau secangkir penuh anggur. Bila kau menolak, tolaklah sesukamu dan jadilah penghibur yang baik.
Syair di atas menunjukkan kebiasaan minum orang Arab jahiliyah yang merupakan sumber kenikmatan. Kira-kira tidak berbeda dengan kebiasaan banyak orang jahiliyah masa kini.
Kemudian diutuslah Rasul untuk membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum diketahui. Diutuslah Rasulullah untuk mentarbiyah, mendidik dan membina masyarakat arab jahiliyah. Mensucikan jiwa mereka, mengisi hati mereka, menguatkan ruhani, mengajarkan kepada mereka ayat-ayat Allah, memutuskan ikatan-ikatan duniawi kemudian mengikatkan kepada ikatan aqidah. Menumbuhkan perasaan takut kepada Tuhannya, perasaan rendah di hadapan Tuhan, hidup dengan ketinggian akhlaq.
Dengan proses seperti inilah generasi terbaik umat ini dilahirkan. Melalui proses ini lahirlah ummat yang akan menjadi dasar penyelesaian problematika kemanusiaan secara keseluruhan. Masalah manusia hari ini tidak akan dapat diurai dan dipecahkan kecuali kembali kepada Islam. Dan Islam tidak akan dapat memainkan perannya kecuali jika terdapat pendukung yang komitmen terhadapnya. Pendukung yang komit terhadap Islam tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan pembinaan, dengan tarbiyah islamiyah.
Model Tarbiah
Pengertian tarbiah Islamiyah, sebagaimana telah disinggung di muka, adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (kata-kata) maupun secara tidak langsung (keteladanan dan sarana lain), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik. Secara global tarbiah Islamiah bertujuan membangun kepribadian Islam yang integral dari segala sisinya, khususnya sisi aqidah, ibadah, ilmu pengetahuan, budaya, akhlaq, perlilaku, pergerakan, keorganisasian dan manajerial, sehingga seluruh kegiatan tarbiah akan mengembangkan potensi ruhani, jasmani, dan akal manusia. Tujuan akhir tarbiah adalah menyiapkan seseorang untuk dapat mengemban tanggung jawab da’wah dan menghadapi rintangan dalam da’wah.
Sasaran tarbiah
Sasaran tarbiah untuk tingkat individu mencakup sepuluh point yaitu; salimul aqidah, setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan aqidah yang hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap Al Quran dan As-Sunnah
Shahihul ibadah, setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan kepada Rasulullah saw. Pada dasarnya, ibadah bukanlah ijtihad seseorang karena ibadah itu tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan atau penyesuaian dengan kondisi kemjuan zaman.
Matinnul khuluq, setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlaq/karakter sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat.
Qadirun ‘alal kasbi, setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan potensi dan kretivitasnya dalam dunia kerja.
Mutsaqqaful fikri, setiap individu dituntut untyuk memiliki keluasan wawasan. Artinya, dia harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengembangkan wawasan.
Qawiyul jism, setiap individu dituntut untuk memliki kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.
Mujahidun li nafsi, setiap individu dituntut untuk mengendalikan hawa nafsunya dan senatiasa mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan amal saleh. Artinya, ia dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu setan yang menjerumuskan manusia pada kejahatan dan kebatilan.
Munadzam fi syu’unihi, setiap individu dituntut mampu mengatur segala urusannya sesuai dengan keteraturan Islam. Pada dasarnya, setiap pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir pada kegagalan.
Haritsun ‘ala waqtihi, setiap individu dituntut untuk memelihara waktunya sehingga dia akan terhindar dari kelalaian. Dengan begitu, diapun akan mampu menghargai waktu orang lain sehingga dia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kesia-siaan, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Tampaknya, tepat sekali apa yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa waktu itu ibarat pedang. Jika ia tidak ditebaskan dengan tepat, ia akan menebas diri kita sendiri.
Nafi’un li ghairihi, setiap individu menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain.
Perangkat tarbiah
Untuk merealisasikan sasaran dalam proses tarbiyah diperlukan berbagai sarana anatara lain; halaqoh, mabit, rihlah, mukhayyam, dan tatskif. Di antara beberapa sarana tarbiyyah tersebut, halaqoh merupakan sarana yang memiliki peran penting karena beberapa alasan;
pertama, dalam tarbiah dengan system halaqoh ini didapatkan kearifan, kejelian, dan langsung di bawah asuhan seorang murabbi. Sehingga setiap kecenderungan dan perubahan yang terjadi segera bisa dipantau dan diarahkan oleh murabbi. Sedang programnya bersumber dari Kitabullah dan sunnah rasul, dengan jadwal yang sudah diatur.
Kedua, tarbiah melalui halaqoh merupakan ‘tujuan yang terkandung dalam perangkat.’ Demikian itu karena penyiapan seorang individu secara islami, pematangan mentalitas, pemikiran, aqidah, dan perilaku merupakan aktivitas yang memerlukan kesinambungan dan kontinuitas, sekaligus menjadi tujuan abadi. Kendati sarana ini termasuk perangkat, namun karena kuatnya keterkaitan dengan tujuan, mengharuskan system ini memiliki kontinyuitas.
Ketiga, sepanjang perjalanan tarbiah, hanya sistem halaqoh yang mampu memantapkan proses penyiapan individu islami secara integral. Oleh karenanya system ini harus tetap berlanjut, meski daulah islam telah berdiri karena ia yang akan menjadi penyuplai kebutuhan pemerintahan akan sumber daya manusia dengan proses yang baik.
Keempat, taruhlah pemerintah dapat menguasai system pengajaran dan informasi, namun keduanya tidak akan mampu mentarbiyah. Meskipun tarbiah yang integral, yang menanamkan dalam jiwa sifat keutamaan, kesungguhan, dan kepekaan terhadap tanggung jawab memang berhubungan erat dengan proses pengajaran dan informasi.
Kompetensi Tarbiah
Diperlukan kajian yang komprehensif untuk mendorong terealisasikannya sasaran tarbiah, yang meliputi seluruh segi yang memungkinkan mencuatnya segala potensi kebaikan. Secara garis besar ada empat kelompok kajian, yaitu; dasar-dasar keislaman, pengembangan diri, dakwah dan pemikiran islam, serta social kemasyarakatan.
Dasar-dasar keislaman mencakup al qur’an dan ulumul qur’an, hadist dan ulumul hadits, aqidah, fiqh, akhlaq, sirah dan kepribadian muslim. Pengembangan diri terdiri dari metodologi berfikir dan riset, belajar mandiri, rumah tangga muslim, manajemen, bahasa arab, kesehatan dan kekuatan fisik, kependidikan dan keguruan. Dakwah dan pemikiran meliputi fiqh dakwah, sejarah dan peradaban umat, dunia islam kontemporer, pemikiran, gerakan dan organisasi pembaharuan, islam dan kekuatan lawan. Dan social kemasyarakatan meliputi tata social kemasyarakatan, perundang-undangan, system politik dan hubungan internasional, ekonomi, seni dan budaya, iptek dan lingkungan, serta isu kontemporer social politik dakwah islam.
Demikian sekilas tentang urgensi tarbiah islamiah, yang dari sana kita berharap kebangkitan umat akan menjadi kenyataan. Untuk merealisasikan kembali julukan indah yang pernah diberikan kepada generasi sahabat, “khairu ummah.”
Wallahu a’lam bisshawab
A. Aspek Internal Ajaran Islam
Rasul diutus oleh Allah ke dunia ini adalah untuk mengeluarkan manusia dari kejahiliyahan, dan menjadikannya sebagai khairu ummah. Untuk melaksanakan tugas ini, Rasulullah melaksanakan sebuah metode pendidikan (tarbiyyah) yang bermula dari tilawah, kemudian tazkiyyah, dan setelah itu ta’limul kitab wal hikmah (2:151, dan 62:2).
Metode ini kami anggap paling tepat (atau bahkan baku) sebab, ketika Nabi Ibrahim AS berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka (anak cucu kami) seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (2:129), Allah menjawabnya dengan; “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu, mensucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa-apa yang belum kamu ketahui” (2:151). Pada do’a Nabi Ibrahim ta’limul kitab wal hikmah mendahului tazkiyyah dan pada jawaban Allah tazkiyyah mendahului ta’limul kitab wal hikmah. Metode ini terbukti mampu mencabut akar-akar kejahiliyahan dari dada ummat dan kemudian menjadikannya sebagai ummat yang terbaik.
Setelah jahiliyyah berhasil ditumbangkan pada masa rasul, ada yang beranggapan bahwa jahiliyyah tidah akan pernah muncul lagi. Seolah-olah, menurut mereka, jahiliyyah merupakan salah satu fase sejarah yang telah lampau dan tidak akan terulang lagi.
Salah bukti adanya anggapan (pandangan) ini adalah adagium yang dikembangkan oleh Dunlop, yang menyatakan: “Orang-orang Arab pada masa jahiliah suka menyembah patung dan berhala, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, suka minum khamr dan main judi, suka merampok dan menodong. Lalu datanglah Islam untuk melarang semua itu.”
Apa yang salah dari ungkapan di atas? Selintas ungkapan itu benar adanya. Islam diturunkan untuk menghancurkan kejahiliahan. Tetapi kalau dicermati secara lebih teliti, ungkapan yang dimuat dalam planning pendeta yang datang ke Mesir pada masa pendudukan Inggris itu, mengandung maksud untuk menggambarkan bahwa misi Islam telah selesai dan tak ada lagi peranan yang bisa dilakukan oleh Islam untuk kaum muslimin dan umat manusia lainnya.
Kalau sekarang umat menengok ke sekelilingnya, mereka tidak akan menemukan patung-patung sebagaimana yang disembah oleh orang Arab Jahiliah. Mereka juga tidak akan mendapati orang yang menguburkan anak perempuannya hidup-hidup. Lebih dari itu, mereka juga akan kesulitan untuk menemukan peminum khamr, pemain judi, dan perampok dalam bentuk tradisionalnya. Dengan hilangnya atribut-atribut kejahiliyyahan tersebut, apa lagi peran yang dapat dimainkan oleh Islam?
Demikianlah, dalam benak mereka, seolah Islam telah kehilangan misinya dan tak mungkin lagi melakukan peran baru. Sebab jahiliah, menurut mereka, telah berlalu dengan dibawanya Islam oleh Muhammad saw, sehingga sekarang ini tidak ada lagi jahiliah.
Benar, kalau kita melihat tampilan luarnya saja. Penyembahan patung-patung tidak ada lagi, anak-anak perempuan tidak lagi dikubur hidup-hidup, bahkan anak-anak perempuan diperjuangkan persamaan haknya. Tetapi kalau kita lihat tampilan dalam (hakikat/substansi) jahiliah itu, niscaya kita akan menjumpai bahwa kejahiliyahan pada zaman modern ini telah tampil dengan kuantitas dan kualitas yang jauh melebihi kejahiliahan Arab sebelum Islam.
Penyembah patung-patung mungkin telah tiada tetapi penyembah berhala-berhala maknawi (segala sesuatu yang berstatus berhala) jumlahnya telah melebihi setengah jumlah manusia dunia. Orang yang membunuh anak-anak perempuannya mungkin juga telah tiada, tetapi orang yang “membunuh” anak perempuannya dengan cara yang sangat canggih -yaitu dengan cara memberikan “kebebasan” dalam model pakaian, pergaulan, dan kebebasan lainnya- jumlahnya sangat besar. Demikian pula halnya dengan minuman keras dan judi, bentuk tradisionalnya memang hampir tidak ada lagi tetapi bentuk barunya, luar biasa banyaknya.
Untuk mengenali ada tidaknya jahiliyyah pada sebuah masyarakat, kita tidak dapat hanya mengandalkan pada penilaian tampilan-tampilan luarnya saja. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, penilaian harus dilakukan dengan membandingkan antara kondisi sebuah masyarakat dengan ciri-ciri khusus yang melekat pada masyarakat jahiliyyah. Ciri-ciri tersebut adalah; jahl (kebodohan), dzillah (kehinaan), faqr (kefakiran), dan tanafur (perpecahan).
Menurut istilah Al Quran, jahl mengandung makna tidak mengetahui hakikat Tuhan, menyangkut jiwa dan perilaku, dan tidak mengikuti apa yang diturunkan Allah. Beberapa contoh dari Al Quran, misalnya pada Al A’raf ayat 138, “Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai ke suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil.’” Yang dimaksud jahil di sini adalah tidak mengetahui hakikat Tuhan sehingga mendorong mereka menyuruh Musa membuat Tuhan berupa patung yang bisa disentuh dan dilihat untuk mereka sembah. Seandainya mereka tahu bahwa Allah Yang Maha Mencipta tak ada yang serupa dengan-Nya dan tak bisa dilihat dengan mata, niscaya mereka tak akan menuntut itu dari Musa.
“Mereka meyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini.” (QS 3:154) Orang jahiliah menduga bahwa seseorang bisa campur tangan bersama Allah menentukan suatu permasalahan. Sementara itu mereka tidak tahu bahwa hanya Allah saja yang mengatur segala sesuatu tanpa ada sekutu dan segala sesuatu itu hanya terjadi atas kehendakNya. Kejahilan mereka adalah pada sifat Allah yang mempunyai kewenangan mutlak.
“Yusuf berkata:’Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil.’” (Yusuf: 33). Jahil yang ditakuti Yusuf adalah perbuatan yang menyalahi perintah Allah dan yang diharamkannya.
Pada zaman modern ini betapa banyaknya orang yang menyembah tuhan lain untuk hal-hal “di luar agama”. Dan betapa banyaknya pula orang yang terjerumus dalam perbuatan yang Nabi Yusuf as berlindung kepada Allah untuk tidak melakukannya. Ini adalah sebagian bukti, bahwa orang-orang yang hidup pada zaman modern ini, juga masih mengidap penyakit “jahl”.
Di samping itu, untuk membuktikan bahwa karakteristik jahiliyyah yang lain –dzillah, faqr, dan tanafur- juga melekat sangat erat pada masyarakat di zaman modern ini, juga tidak terlalu sulit. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Muhammad Qutb menyebutnya sebagai jahiliyyah abad 20.
Itulah pandangan yang benar tentang jahiliyyah. Jahiliah tidak terbatas pada penyembahan patung, mengubur anak perempuan hidup-hidup, minum khamr, main judi atau melakukan perampokan. Semua itu hanya tampilan luar dari Jahiliah di Arab sebelum kedatangan Islam. Adapun jahiliah itu adalah suatu esensi yang darinya muncul tampilan luar tadi. Mungkin saja tampilannya berbeda menurut tempat dan waktu, sebagaimana tercatat dalam sejarah. Jahiliah bisa terulang kapan saja dan di mana saja, bila ada unsur dan sarana yang mendukungnya. Namun esensinya tetap sama, yaitu sama-sama tidak mengetahui hakikat Tuhan dan tidak mengikuti apa yang diurunkan Allah.
Dan esensi itu, sekarang ini melanda mayoritas manusia penghuni bumi. Artinya, kejahiliahan adalah sesuatu yang nyata pada hari ini yang menunggu kembalinya Islam untuk berperan. Mengembalikan umat manusia dari kejahiliahan, dari kesesatan (dhalalun mubin). “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Ali Imron : 164
Orang jahiliyah benar-benar sesat. Persis seperti orang yang terus-menerus berputar di dalam kota mencari jalan ke luar kota, tetapi ia tidak mendapatkannya. Ia telah kehilangan kompas dan petanya. Meskipun ia telah seharian mencari jalan keluar, tetap tak menemukannya.
Ia telah merasa menempuh jalan kehidupan dan sampai diujungnya. Tetapi ketika sampai di ujung apa yang dicari ternyata tidak ada di sana. Ia tak menemukannya. Ternyata perjalanan hidupnya telah salah arah. Salah orientasi. Perjalanannya tidak membawa ia kepada arti hidup sesungguhnya. Perjalanannya menjadi tidak berarti. Menjadi kehilangan makna. Itulah yang sekarang juga dirasakan oleh kejahiliahan Barat. Dan juga akan dirasakan oleh umat Islam ketika ia mengikuti arah perjalanan jahiliah Barat, dengan mencampakkan kompas dan peta yang Allah sudah persiapkan.
Untuk mengembalikan perjalanan sejarah kehidupan manusia dari kesalahan arah, diturunkanlah Islam dari sisi Allah SWT yang membawa misi untuk mengeluarkan manusia dari kungkungan lingkaran jahiliah menuju pencerahan kehidupan manusia berlandaskan petunjuk Allah. Sebagaimana telah kami sebutkan di awal pembahasan ini, misi itu direalisasikan dengan suatu proses, sebagaimana firman Allah QS 2:151, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami keapada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. Proses itu adalah tarbiyah Islamiyah atau pembinaan yang terdiri dari langkah-langkah tilawah (membaca/dibacakan), tazkiyah (pembersihan diri) dan ta’limul kitab wal hikmah (Al Quran dan Sunnah)
Hanya dengan proses tarbiyah seperti itulah kita akan memperoleh nikmat yang mengantarkan kita menuju khairu ummah “Kamu adalah sebaik-baik ummah yang dikeluarkan untuk manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan, melarang berbuat kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110) yang memiliki ciri-ciri; ilmu (pengetahuan/pemahaman), ‘izzah (terhormat), ghina (kekayaan), ukhuwah (persaudaraan).
B. Aspek individu
Dilihat dari sudut individu, manusia membutuhkan tarbiyah islamiyah karena dua hal; 1) hakikat setiap jiwa manusia membutuhkan pembinaan 2) realitas ummat dewasa ini yang terserang virus ghutsai.
1) Hakikat Setiap Jiwa Manusia Membutuhkan Pembinaan
Hakikat jiwa manusia selalu menghadapi dua persoalan, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, fitrah jiwa manusia senantiasa berada pada persimpangan jalan, jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah oarng yang mengotorinya” (91:8-10). Untuk bisa tetap bertahan pada jalan yang lurus (jalan takwa) manusia memerlukan pengawalan ketat secara terus-menerus. Hal ini hanya bisa terlaksana dengan tarbiyah islamiyah, yang senantiasa memastikan setiap individu berjalan di atas jalan ketakwaan.
Kalau boleh diibaratkan, jiwa manusia adalah seperti kereta yang ditarik oleh lima kuda. Kelima kuda itu adalah penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Setiap hari dan setiap saat kereta ini ditarik sesukanya oleh kuda penglihatan, kuda pendengaran, dan kuda-kuda indera lainnya. Kalau jiwa ini dibiarkan saja ditarik secara liar kesana kemari oleh kuda-kuda indera ini, ia akan selalu dalam kondisi kebingungan, tanpa arah, dan tidak tahu tujuan. Nafsu kalau dibiarkan akan menarik manusia menjauhi fitrahnya.
Oleh karena itu, kereta jiwa ini harus dikendalikan oleh kusir yang selalu memegang kendali kuda-kuda liar indera. Ia akan menundukkan pandangan manakala kuda penglihatan menarik kereta jiwa ke jalan mengumbar mata. Ia akan menutup telinga ketika kuda pendengaran mengajaknya mendengarkan perkataan yang mengotori jiwanya. Ia akan menghentikan langkahnya, ketika nafsu berusaha memerosokkan ke jurang dosa. Ia akan mengendalikan semuanya.
Namun itu bukan perkara mudah. Bahkan sang kusir kadang tidak mampu berbuat banyak, ketika kuda-kuda ini menariknya secara liar. Agar sang kusir ini mampu mengendalikan kudanya, ia harus dilatih dan dididik. Ia harus ditarbiyah.
Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya; “Ketahuilah di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah ia adalah hati.”
Melihat manusia, dikaitkan dengan hadits Rasul di atas, sebaiknya dimulai dari hatinya. Sebenarnya ia adalah makhluq spiritual (ruhani) yang mempunyai pengalaman manusia, dan bukan manusia yang mempunyai pengalaman spiritual. Kalau mau meluruskan arah hidupnya, maka luruskanlah dulu hati dan jiwanya, rahkan ruhaninya, bimbinglah jiwanya, kuatkanlah hatinya. Niscaya perjalanannya akan senantiasa benar. Agar kereta berjalan di jalan yang semestinya, dan tidak masuk ke dalam jurang, latihlah dan didiklah dulu kusirnya. Bimbinglah ia sampai mahir mengendalikan kuda.
Disamping persoalan internal tersebut, secara eksternal Umat Islam menghadapi musuh yang senantiasa menginginkan kekalahan umat islam (2:168-169). Musuh umat islam mengerahkan segala kekuatan dan kemampuannya, mereka membuat berbagai perencanaan dan kemudian merealisasikannya.
Untuk menggambarkan bagaimana musuh Islam ini senantiasa mengerahkan segala kekuatannya untuk menghancurkan Islam, kita simak penuturan ustadz Hasan Al Banna; “Sejalan dengan kekuatannya yang besar dan kekuasaannya yang luas, factor-faktor penghancur secara perlahan namun pasti merasuk ke sela-sela kehidupan umat qurani ini, ia semakin tumbuh, menyebar dan semakin lama semakin kuat, hingga mampu merobek bangunan ini dan mengikis habis pusat daulah islamiah yang pertama pada abad ke-6 hijriah oleh bangsa Tartar, kemudian yang kedua pada abad ke-14 hijriah. Dua penghancuran itu mewariskan kondisi umat yang bercerai-berai. Mereka hidup di negara-negara kecil yang sulit menuju kesatuan dan bangkit kembali.”
Aspek social, “orang-orang Eropa telah bekerja keras untuk menenggelamkan seluruh negeri Islam yang mereka kuasai dengan gelombang kehidupan materialis dengan gaya hidup rusak dan virus-virus yang mematikan. Mereka menjerumuskan negeri-negeri Islam itu ke dalam nasib buruk di bawah kekuasaannya. Disamping itu, Eropa berambisi kuat untuk memonopoli berbagai unsur kebaikan dan kekuatan ilmu pengetahuan, industri, dan system yang bermanfaat. Mereka telah membuat rencana dan melaksanakan langkah-langkah perang jenis ini secara sempurna dengan dukungan kelicikan politik dan kekuasaan militer hingga tercapailah apa yang mereka inginkan.”
“Gelobang itu menyebar secepat kilat sampai ke tempat-tempat yang belum terjamah sebelumnya dan menyentuh jiwa seluruh lapisan masyarakat. Musuh-musuh Islam telah berhasil menipu kaum intelektual muslim. Mereka letakkan tabir yang menutupi mata orang lain agar tidak bisa melihat mereka yang sebenarnya, dengan cara mengambarkan Islam dengan gambaran terbatas pada masalah-masalah aqidah, ibadah dan akhlaq, di samping spiritual, mistik, khurafat, dan berbagai fenomena keagamaan yang kering tak jelas sumbernya. Tipu daya ini ditopang dengan kebodohan kaum Muslimin terhadap agama mereka sehinga banyak di antara mereka yang merasa senang, tenteram, dan puas dengan persepsi tersebut. Persepsi tersebut melekat amat lama pada diri mereka hingga sulit memahamkan salah seorang di antara bahwa Islam adalah sebuah system social sempurna yang mencakup semua aspek kehidupannya.”
Hasil perpaduan “yang serasi” antara kebodohan ummat Islam dan tipu daya musuhnya adalah krisis ekonomi, krisis politik (hegemoni dan diktatorisme), krisis jati diri, pemikiran dan referensi, seperti yang kita saksikan pada hari-hari ini.
Untuk dapat keluar dari krisis multidimensional ini, diperlukan suatu kerja keras dan cerdas yang dibingkai dalam wadah amal jamai (kerja sama). Dan amal jamai tidak akan wujud kecuali apabila diawali dengan proses tarbiyah islamiyah para pendukungnya.
2) Realitas Ummat Dewasa Ini Yang Terserang Virus Ghutsai.
Seharusnya umat ini berjaya, dan memang mereka dilahirkan ke dunia untuk itu. Tetapi dewasa ini, kenyataannya tidaklah demikian. Kaum muslimin kini terpuruk dan terpinggirkan. Hampir di seluruh sisi kehidupan, mereka kehilangan peran utama. Umat ini lebih mirip dengan buih yang tidak punya arus. Persis seperti apa yang pernah diprediksi oleh Rasul.
“Akan datang suatu masa di mana umat-umat lain akan memperebutkan kalian, sama seperti anjing-anjing yang memperebutkan makanan” demikian rasul pernah bersabda kepada para sahabatnya. Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita sedikit ketika itu?” Rasulullah menjawab, “(Tidak) bahkan ketika itu sangat banyak, tetapi kalian itu bagai buih yang mengapung di atas arus air. Sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan sungguh Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian.” Salah seorang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rasulullah”? Rasululllah menjawb, “Cinta dunia dan takut mati.”
Penjelasan rasul ini menggambarkan secara gamblang bahwa sebab kelemahan dan kehinaan suatu kaum adalah kelemahan hati dan jiwa. Hati mereka kosong dari karakter luhur dan mulia, sekalipun jumlah mereka banyak dan secara materi mereka melimpah.
Itulah “virus” mematikan, yang lazim disebut virus buih (ghutsai). Virus ini membuat ummat islam menjadi ringan timbangannya, sehingga menjadikannya tidak punya arus. Virus ghutsai menyebabkan kaum muslimin menjadi santapan yang nikmat bagi para taghut (musuh-musuh Allah SWT). Penyebab timbulnya virus ghutsai ini adalah kecintaan kaum muslimin kepada dunia sekaligus membenci kematian.
Sesungguhnya suatu ummat yang telah terbuai dalam kenikmatan, terbuai oleh kemewahan, tenggelam dalam kemilau harta, tertipu pesona dunia, dan lupa kepada kemungkinan menghadapi tragedy dan kekerasan, serta perjuangan menegakkan kebenaran; kepada umat seperti itu, tinggal dikatakan kepada mereka, “Selamat jalan untuk kehormatan dan cita-cita.”
Berlarutnya krisis yang merundungi negeri ini merupakan contoh yang terlalu jelas untuk dilewatkan. Kita tidak perlu melihat secara detail bagaimana rakyat banyak telah terjangkiti penyakit jiwa ini. Cukuplah kita perhatikan bagaimana para pembesar negeri. Jangankan berkorban untuk mengangkat umat dan bangsa dari kehinaan, para pembesar itu justru mengeruk kekayaan rakyat dan memasukkan ke pundi-pundi kekayaan pribadi dan golongannya. Kekuasaan yang ada pada mereka tidak dipergunakan untuk melanyani umat, justru mereka memposisikan diri sebagai yang harus dilayani. Jiwa pengorbanan merosot ke titik nadir, dan memunculkan jiwa mencari korban.
Perilaku para pemimpin ini dituruti oleh generasi yang lebih muda. Mereka menjadi generasi yang kehilangan semangat juang dan berkorban untuk mengemban misi mulai kehidupan. Sementara itu mereka terlena oleh kenikmatan remeh-temeh, kesenangan sesaat. Mereka menjadi generasi hasil didikan generasi pendahulunya, sehingga hasilnya setali tiga uang, tidak terlalu jauh berbeda dengan seniornya.
Sekedar contoh, lihat apa yang terjadi. Dalam tiga tahun, pengguna narkoba di Jakarta mengalami peningkatan luar biasa, 400 persen. Tercatat, tahun 1996 ada 1.729 pengguna narkoba dan pada tahun 1999 naik menjadi 8.823 orang. Remaja di Jakarta dalam sehari membelanjakan uangnya sekitar Rp1,3 milyar hanya untuk membeli ekstasi, shabu-shabu, narkotika, dan obat-obatan terlarang lainnya.
Sebanyak 200 sekolah dari 600 SLTA di Jakarta telah masuk daftar hitam penyalahgunaan narkoba selama tahun 2000. Selain itu sebanyak 181 sekolah dari 600 SLTP juga tercantum dalam daftar hitam tersebut. Sekitar 1.200 pelajar SLTA tercatat kecanduan. Tidak kurang dari 1.100 pelajar SLTP terjerat kasus penyalahgunaan narkoba
Bercermin dari kondisi di atas, wajar memang kalau kemudian umat ini menjadi umat yang mempunyai hati yang lembek, loyo dan tidak berbobot. Maka menjadi semakin banyak bukti dari prediksi Rasulullah di atas.
Itu baru sekedar dilihat dari sisi moral. Kalau saja kita mau melihat secara lebih luas dan detail, niscaya kita akan semakin mengerti mengapa umat ini menjadi seperti buih yang tidak mampu membuat arus dan terjebak dalam krisis multi dimensional. Sisi ekonomi, perundangan, teknologi, pendidikan adalah bagian lain letak kelemahan umat, yang semakin menambah ketidakmampuannya membuat arus peradaban dunia.
Untuk menterapi virus tersebut, kita membutuhkan terapi yang disebut tarbiyah. Dengan proses tarbiyah, insya Allah akan menambah berat timbangan dan membuat arus, sehingga kita mampu menghancurkan taghut.
Solusi Islam
Semua alasan tersebut menjadikan tarbiyah menjadi penting dan urgen. Kegagalan pendidikan (sekolah) dalam mencetak kader-kader umat dan bangsa, membuat kita bertanya. Apa yang salah dengan system pendidikan kita?
Pendidikan telah mengalami penyempitan makna sekadar menjadi pengajaran dan pelatihan. Pembinaan, tarbiyah, pendidikan tidak identik dengan pengajaran dan pelatihan. Pelatihan itu berurusan dengan praktik, dengan belajar melakukan. Pengajaran lebih kepada transfer pengetahuan atau proses mengembangkan potensi intelektualitas. Sementara pendidikan, pembinaan dan tarbiyah adalah proses untuk menemukan dan kemudian mengaktualisasi segenap potensi diri manusia. Pembentukan karakter-karakter mulia manusia seperti integritas, tekad kuat, jujur, kerendahan hati, kesetiaan, keadilan, kesabaran, kesungguhan, lapang dada dan karakter mulia tidak lainnya mungkin dilakukan dengan pengajaran, ia hanya bisa dilakukan dengan pembinaan, pendidikan dan dilatih.
Yang terlupakan oleh metode pendidikan dewasa ini adalah bahwa manusia tidak saja mempunyai fisik dan pikiran, tetapi juga mempunyai hati. Ini yang jarang atau bahkan tidak pernah disentuh dalam dunia pendidikan. Bahkan barangkali dipandang tidak ada hubungan antara fisik dan akal dengan hati. Bukankah ini cara memandang manusia secara keliru?
Dibutuhkan suatu pendekatan yang komprehensif dalam mendidik umat. Hal terpenting yang harus menjadi perhatian pertama dalam mendidik umat adalah mengupayakan kebangkitan spiritual, kebangkitan ruhani, kehidupan hati, kebangkitan hakiki manusia dan perasaannya. Tidak cukup menjejali manusia dengan pengetahuan. Ia hanya akan menjadi orang yang tahu, punya pengetahuan. Tetapi kemauan seseorang untuk merealisasi pengetahuan menjadi karakter dan akhlaq diri tidak diperoleh dari pengajaran. Diperlukan wadah dan hati yang kuat dalam diri manusia yang akan diisi pengetahuan, agar bisa mendorongnya menjadi manusia yang mempunyai karakter luhur dan mulia.
Penting untuk menengok kepada Guru Besar Kehidupan, Rasulullah saw, bagaimana beliau mampu mendidik dan membina generasi terbaik umat manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi ini. Yang kemudian dari mereka nantinya dua imperium adidaya kala itu, Romawi dan Persi, bisa ditundukkan. Yang kemudian dari generasi ini memunculkan generasi yang memperbarui peradaban dunia. Memuliakan kemanusiaan manusia dan mengeluarkan dari kebinatangan manusia. Membebaskan manusia dari belenggu ikatan materi menuju ikatan ketauhidan.
Penting untuk disimak apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina dan mentarbiyah para sahabatnya, yaitu bahwa Rasulullah membina dan mempersiapkan para sahabatnya dengan pembinaan yang menyentuh seluruh aspek kehidupannya: ruhani, jasmani dan fikiran. Dan untuk membina kekuatan ruhani, kekokohan jiwa, pancaran spiritual, sampai-sampai dibutuhkan waktu paling tidak 13 tahun. Sebelum akhirnya Rasul mengajarkan aspek-aspek lain dari kehidupan ini. Dilihat dari sudut pandang seperti ini, bukankah apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini dalam mendidik umat menjadi terbalik?
Para pengikut Rasulullah dibentuk dan diproses melalui Tarbiyah Islamiyah yang merealisasikan ‘ubudiyahnya hanya kepada Allah saja; ‘ubudiyah yang meliputi i’tiqad, ibadah dan aturan yang benar-benar diterapkan dalam segala aktivitas hidup mereka. Proses ‘ubudiyah seperti ini akan membersihkan jiwa, hati, dan spiritualitas mereka dari beriman kepada selain Allah dan meluruskan aktivitas mereka dari orientasi yang lain daripada Allah semata-mata.
Mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Rasul, kebangkitan kembali umat ini memerlukan tarbiyah islamiyah. Model pembinaan yang komprehensif untuk membangkitkan umat dari keterpurukannya. Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti kurang lebih penjagaan, pengasuhan dan pendidikan. Tarbiyah Islamiyah adalah penjagaan, pengasuhan dan pendidikan berasaskan Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Sumber-sumber ini adalah sumber-sumber rabbani. Dengan sumber inilah generasi sahabat dididik oleh Rasulullah SAW sehingga melahirkan generasi rabbani yang mendapat julukan dan pujian dari Allah: “Kamu adalah sebaik-baik ummah yang dikeluarkan untuk manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan, melarang berbuat kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Tarbiyah ingin mewujudkan kondisi yang kondusif bagi manusia untuk dapat hidup di dunia secara lurus dan baik, serta hidup di akhirat dengan naungan ridho dan pahala Allah swt. Tarbiyah membentuk pribadi muslim yang mempunyai karakteristik: mempunyai aqidah yang lurus, ibadahnya benar, akhlak terpuji, fikiran yang kaya dengan ilmu, tubuh yang kuat, mampu berusaha untuk mencari rizki, mampu mengendalikan hawa nafsu dan mau melakukan mujahadah pada dirinya, memiliki waktu dengan teratur, urusan dan pekerjaannya ditata dan diatur dengan disiplin, dan bermanfaat bagi orang lain.
Tarbiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih, agar tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Keseimbangan potensi artinya kemunculan suatu potensi tidak boleh memandulkan potensi yang lain atau untuk memunculkan potensi yang satu dimandulkan potensi yang lain. Juga keseimbangan antara potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran; keseimbangan antara keruhanian manusia dan kejasmaniannya.
Tarbiyah mendorong seseorang untuk memiliki dinamika yang tinggi di seluruh kehidupannya bersama diri dan orang-orang yang ada disekitarnya, bahkan lingkungan alam sekitarnya. Tarbiyah istimewa karena mampu mengiringi fitrah manusia dalam menghadapi realitas hidupnya di bumi dan alam materi.
Tarbiyah islamiyah merupakan cara ideal berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (dengan kata-kata) atau tidak langsung (berupa keteladanan dan sarana yang lain), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menjuju kondisi yang lebih baik. Secara global tarbiyah islamiyah bertujuan membangun kepribadian Islam yang integral dalam segala sisi-sisinya, khususnya dalam sisi aqidah, ibadah, ilmu pengetahuan, budaya, akhlaq, perilaku, pergerakan, keoganisasian dan manajerial, sehingga seluruh kegiatan tarbiyah akan mengembangkan potensi ruhani, jasmani dan akal pikiran manusia.
Coba cermati firman Allah yang menciptakan manusia beserta segala kehidupannya, di surat Ali Imran 164: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Senada dengan ayat tersebut adalah surat Al Baqarah ayat 151: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Atau ayat 2 surat Al Jumuah: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang yang nyata.”
Banyak sisi yang bisa dilihat dari membaca ayat-ayat di atas. Dari sisi tarbiyah islamiyah kita bisa mengambil makna bahwa sebelumnya kaum mukmin ini benar-benar tersesat. Mereka menuhankan batu-batu yang dianggapnya bisa memberikan kebaikan dan mencegah keburukan dari mereka. Gaya hidup hedonisme orang Arab jahiliyah yang berkecenderungan kepada materialisme duniawi, tergambar dalam salah satu syair Tarafah pra Islam:
Cari aku di kumpulan orang-orang, kau akan menemukan aku di sana
Buru aku di kedai minuman, kau akan menangkapku di sana
Datangi aku di pagi hari, akan kuberi kau secangkir penuh anggur. Bila kau menolak, tolaklah sesukamu dan jadilah penghibur yang baik.
Syair di atas menunjukkan kebiasaan minum orang Arab jahiliyah yang merupakan sumber kenikmatan. Kira-kira tidak berbeda dengan kebiasaan banyak orang jahiliyah masa kini.
Kemudian diutuslah Rasul untuk membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum diketahui. Diutuslah Rasulullah untuk mentarbiyah, mendidik dan membina masyarakat arab jahiliyah. Mensucikan jiwa mereka, mengisi hati mereka, menguatkan ruhani, mengajarkan kepada mereka ayat-ayat Allah, memutuskan ikatan-ikatan duniawi kemudian mengikatkan kepada ikatan aqidah. Menumbuhkan perasaan takut kepada Tuhannya, perasaan rendah di hadapan Tuhan, hidup dengan ketinggian akhlaq.
Dengan proses seperti inilah generasi terbaik umat ini dilahirkan. Melalui proses ini lahirlah ummat yang akan menjadi dasar penyelesaian problematika kemanusiaan secara keseluruhan. Masalah manusia hari ini tidak akan dapat diurai dan dipecahkan kecuali kembali kepada Islam. Dan Islam tidak akan dapat memainkan perannya kecuali jika terdapat pendukung yang komitmen terhadapnya. Pendukung yang komit terhadap Islam tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan pembinaan, dengan tarbiyah islamiyah.
Model Tarbiah
Pengertian tarbiah Islamiyah, sebagaimana telah disinggung di muka, adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (kata-kata) maupun secara tidak langsung (keteladanan dan sarana lain), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik. Secara global tarbiah Islamiah bertujuan membangun kepribadian Islam yang integral dari segala sisinya, khususnya sisi aqidah, ibadah, ilmu pengetahuan, budaya, akhlaq, perlilaku, pergerakan, keorganisasian dan manajerial, sehingga seluruh kegiatan tarbiah akan mengembangkan potensi ruhani, jasmani, dan akal manusia. Tujuan akhir tarbiah adalah menyiapkan seseorang untuk dapat mengemban tanggung jawab da’wah dan menghadapi rintangan dalam da’wah.
Sasaran tarbiah
Sasaran tarbiah untuk tingkat individu mencakup sepuluh point yaitu; salimul aqidah, setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan aqidah yang hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap Al Quran dan As-Sunnah
Shahihul ibadah, setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan kepada Rasulullah saw. Pada dasarnya, ibadah bukanlah ijtihad seseorang karena ibadah itu tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan atau penyesuaian dengan kondisi kemjuan zaman.
Matinnul khuluq, setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlaq/karakter sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat.
Qadirun ‘alal kasbi, setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan potensi dan kretivitasnya dalam dunia kerja.
Mutsaqqaful fikri, setiap individu dituntut untyuk memiliki keluasan wawasan. Artinya, dia harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengembangkan wawasan.
Qawiyul jism, setiap individu dituntut untuk memliki kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.
Mujahidun li nafsi, setiap individu dituntut untuk mengendalikan hawa nafsunya dan senatiasa mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan amal saleh. Artinya, ia dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu setan yang menjerumuskan manusia pada kejahatan dan kebatilan.
Munadzam fi syu’unihi, setiap individu dituntut mampu mengatur segala urusannya sesuai dengan keteraturan Islam. Pada dasarnya, setiap pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir pada kegagalan.
Haritsun ‘ala waqtihi, setiap individu dituntut untuk memelihara waktunya sehingga dia akan terhindar dari kelalaian. Dengan begitu, diapun akan mampu menghargai waktu orang lain sehingga dia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kesia-siaan, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Tampaknya, tepat sekali apa yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa waktu itu ibarat pedang. Jika ia tidak ditebaskan dengan tepat, ia akan menebas diri kita sendiri.
Nafi’un li ghairihi, setiap individu menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain.
Perangkat tarbiah
Untuk merealisasikan sasaran dalam proses tarbiyah diperlukan berbagai sarana anatara lain; halaqoh, mabit, rihlah, mukhayyam, dan tatskif. Di antara beberapa sarana tarbiyyah tersebut, halaqoh merupakan sarana yang memiliki peran penting karena beberapa alasan;
pertama, dalam tarbiah dengan system halaqoh ini didapatkan kearifan, kejelian, dan langsung di bawah asuhan seorang murabbi. Sehingga setiap kecenderungan dan perubahan yang terjadi segera bisa dipantau dan diarahkan oleh murabbi. Sedang programnya bersumber dari Kitabullah dan sunnah rasul, dengan jadwal yang sudah diatur.
Kedua, tarbiah melalui halaqoh merupakan ‘tujuan yang terkandung dalam perangkat.’ Demikian itu karena penyiapan seorang individu secara islami, pematangan mentalitas, pemikiran, aqidah, dan perilaku merupakan aktivitas yang memerlukan kesinambungan dan kontinuitas, sekaligus menjadi tujuan abadi. Kendati sarana ini termasuk perangkat, namun karena kuatnya keterkaitan dengan tujuan, mengharuskan system ini memiliki kontinyuitas.
Ketiga, sepanjang perjalanan tarbiah, hanya sistem halaqoh yang mampu memantapkan proses penyiapan individu islami secara integral. Oleh karenanya system ini harus tetap berlanjut, meski daulah islam telah berdiri karena ia yang akan menjadi penyuplai kebutuhan pemerintahan akan sumber daya manusia dengan proses yang baik.
Keempat, taruhlah pemerintah dapat menguasai system pengajaran dan informasi, namun keduanya tidak akan mampu mentarbiyah. Meskipun tarbiah yang integral, yang menanamkan dalam jiwa sifat keutamaan, kesungguhan, dan kepekaan terhadap tanggung jawab memang berhubungan erat dengan proses pengajaran dan informasi.
Kompetensi Tarbiah
Diperlukan kajian yang komprehensif untuk mendorong terealisasikannya sasaran tarbiah, yang meliputi seluruh segi yang memungkinkan mencuatnya segala potensi kebaikan. Secara garis besar ada empat kelompok kajian, yaitu; dasar-dasar keislaman, pengembangan diri, dakwah dan pemikiran islam, serta social kemasyarakatan.
Dasar-dasar keislaman mencakup al qur’an dan ulumul qur’an, hadist dan ulumul hadits, aqidah, fiqh, akhlaq, sirah dan kepribadian muslim. Pengembangan diri terdiri dari metodologi berfikir dan riset, belajar mandiri, rumah tangga muslim, manajemen, bahasa arab, kesehatan dan kekuatan fisik, kependidikan dan keguruan. Dakwah dan pemikiran meliputi fiqh dakwah, sejarah dan peradaban umat, dunia islam kontemporer, pemikiran, gerakan dan organisasi pembaharuan, islam dan kekuatan lawan. Dan social kemasyarakatan meliputi tata social kemasyarakatan, perundang-undangan, system politik dan hubungan internasional, ekonomi, seni dan budaya, iptek dan lingkungan, serta isu kontemporer social politik dakwah islam.
Demikian sekilas tentang urgensi tarbiah islamiah, yang dari sana kita berharap kebangkitan umat akan menjadi kenyataan. Untuk merealisasikan kembali julukan indah yang pernah diberikan kepada generasi sahabat, “khairu ummah.”
Wallahu a’lam bisshawab
Makna Syahadatain
I. Pendahuluan
Kalimat syahadat adalah pintu gerbang seseorang menjadi muslim. Ketika seseorang ingin masuk Islam, hal pertama yang dilakukan adalah mengucapkan “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammaddar rosuulullaah”. Dengan ucapan tersebut ia otomatis sudah menjadi seorang muslim yang memiliki konsekuensi menjalankan syariat Islam. Kalimat ini pulalah yang menentukan seseorang itu husnul khatimah atau su’ul khatimah di akhir hayatnya. Dengan kalimat ini pula pintu syurga terbuka untuknya.
Konsep yang terkandung dalam kalimat laa ilaaha illallaah adalah konsep pembebasan manusia dari penghambaan apapun kecuali Allah SWT semata-mata. Manusia menafikkan secara langsung segala bentuk ketuhanan yang ada di alam ini, kecuali hanya Allah SWT. Penolakan tersebut bertujuan untuk membersihkan aqidah dari syubhat ketuhanan dan menegaskan bahwa segala arti dan hakikat ketuhanan itu hanya ada pada Allah.
Kalimat syahadah ini memberikan pemahaman kepada kita dalam memahami dan bersikap bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah saja, tiada pemberi rizki selain Allah, tiada pemilik selain Allah, tiada yang dicintai selain Allah, tiada yang ditakuti selain Allah, tiada yang diharapkan selain Allah, tiada yang menghidupkan dan mematikan selain Allah, tiada yang melindungi selain Allah, tiada daya dan kekuatan selain Allah dan tiada yang diagungkan selain Allah. Kemudian pengakuan Muhammad Rasulullah adalah menerima cara menghambakan diri berasal dari Rasulullah SAW sehingga tata cara penghambaan hanya berasal dari tuntunan Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya.
Oleh karena itu syahadatain menjadi suatu pondasi dari sebuah metode lengkap yang menjadi asas kehidupan umat muslim. Dengan pondasi ini kehidupan Islami akan dapat ditegakkan. Semakin dalam pemahaman kita terhadap konsep syahadatain dan semakin menyeluruh kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka semakin utuh kehidupan Islami tumbuh dalam masyarakat muslim.
II. Definisi Syahadah
1. Secara bahasa, “Asyhadu” berarti saya bersaksi. Kesaksian ini bisa dilihat dari waktu, termasuk dalam aktivitas yang sedang berlangsung dan masih sedang dilakukan ketika diucapkan Asyhadu ini sendiri memiliki tiga arti:
a. Al I’lan (pernyataan), QS. Ali Imran (3) : 18
b. Al Wa’d (janji), QS. Ali Imran (3) : 81
c. Al Qosam (sumpah), QS. Al Munafiqun (63) : 2
2. Secara istilah syahadat merupakan pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melalui :
a. Pembenaran dalam hati (tasdiqu bil qolbi)
b. Dinyatakan dengan lisan (al qaulu bil lisan)
c. Dibuktikan dengan perbuatan (al ’amalu bil arkan)
Menurut hadist : “Iman adalah dikenali oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Hibban)
Setelah memahami syahadah maka akan muncul keimanan, keimanan ini harus terus disempurnakan dengan sikap istiqomah, QS. Al Fushilat (41)
Istiqomah yang benar akan menghasilkan :
a. Syaja’ah (berani), QS.Al Maidah (5) : 52
b. Ithmi’nan (ketenangan), QS Ar Ra’du (13) : 28
c. Tafa’ul (optimis)
III. Jenis-jenis Syahadah
a. Syahadah Rububiyah yaitu pengakuan identitas terhadap Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara dan penguasa,
QS. Al A’raf (7) : 172
b. Syahadah Uluhiyah yaitu : pengakuan loyalitas terhadap Allah sebagai satu-satunya supremasi yang boleh disembah dan ditaati, QS. Al A’raf (7) : 54
c. Syahadah risalah yaitu pengakuan terhadap diri Muhammad SAW sebagai utusan-Nya beliau adalah panutan terbaik bagi manusia,
QS. Al Ahzab (33) : 21
Referensi :
1. Syahadahmu syahadahku, paket BPNF
2. Memurnikan la ilahaa illallah, Mu Said Al Qathrani, M. Bin Abd. Wahhab, M Quthb
3. Pengantar Studi Aqidah Islam, Dr. Ibrahim Muhammad bin Al Buraikan
4. Ma’na Syahadah, Dr, Irwan Prayitno
5. Petunjuk Jalan Sayyid Quthb
Kalimat syahadat adalah pintu gerbang seseorang menjadi muslim. Ketika seseorang ingin masuk Islam, hal pertama yang dilakukan adalah mengucapkan “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammaddar rosuulullaah”. Dengan ucapan tersebut ia otomatis sudah menjadi seorang muslim yang memiliki konsekuensi menjalankan syariat Islam. Kalimat ini pulalah yang menentukan seseorang itu husnul khatimah atau su’ul khatimah di akhir hayatnya. Dengan kalimat ini pula pintu syurga terbuka untuknya.
Konsep yang terkandung dalam kalimat laa ilaaha illallaah adalah konsep pembebasan manusia dari penghambaan apapun kecuali Allah SWT semata-mata. Manusia menafikkan secara langsung segala bentuk ketuhanan yang ada di alam ini, kecuali hanya Allah SWT. Penolakan tersebut bertujuan untuk membersihkan aqidah dari syubhat ketuhanan dan menegaskan bahwa segala arti dan hakikat ketuhanan itu hanya ada pada Allah.
Kalimat syahadah ini memberikan pemahaman kepada kita dalam memahami dan bersikap bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah saja, tiada pemberi rizki selain Allah, tiada pemilik selain Allah, tiada yang dicintai selain Allah, tiada yang ditakuti selain Allah, tiada yang diharapkan selain Allah, tiada yang menghidupkan dan mematikan selain Allah, tiada yang melindungi selain Allah, tiada daya dan kekuatan selain Allah dan tiada yang diagungkan selain Allah. Kemudian pengakuan Muhammad Rasulullah adalah menerima cara menghambakan diri berasal dari Rasulullah SAW sehingga tata cara penghambaan hanya berasal dari tuntunan Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya.
Oleh karena itu syahadatain menjadi suatu pondasi dari sebuah metode lengkap yang menjadi asas kehidupan umat muslim. Dengan pondasi ini kehidupan Islami akan dapat ditegakkan. Semakin dalam pemahaman kita terhadap konsep syahadatain dan semakin menyeluruh kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka semakin utuh kehidupan Islami tumbuh dalam masyarakat muslim.
II. Definisi Syahadah
1. Secara bahasa, “Asyhadu” berarti saya bersaksi. Kesaksian ini bisa dilihat dari waktu, termasuk dalam aktivitas yang sedang berlangsung dan masih sedang dilakukan ketika diucapkan Asyhadu ini sendiri memiliki tiga arti:
a. Al I’lan (pernyataan), QS. Ali Imran (3) : 18
b. Al Wa’d (janji), QS. Ali Imran (3) : 81
c. Al Qosam (sumpah), QS. Al Munafiqun (63) : 2
2. Secara istilah syahadat merupakan pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melalui :
a. Pembenaran dalam hati (tasdiqu bil qolbi)
b. Dinyatakan dengan lisan (al qaulu bil lisan)
c. Dibuktikan dengan perbuatan (al ’amalu bil arkan)
Menurut hadist : “Iman adalah dikenali oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Hibban)
Setelah memahami syahadah maka akan muncul keimanan, keimanan ini harus terus disempurnakan dengan sikap istiqomah, QS. Al Fushilat (41)
Istiqomah yang benar akan menghasilkan :
a. Syaja’ah (berani), QS.Al Maidah (5) : 52
b. Ithmi’nan (ketenangan), QS Ar Ra’du (13) : 28
c. Tafa’ul (optimis)
III. Jenis-jenis Syahadah
a. Syahadah Rububiyah yaitu pengakuan identitas terhadap Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara dan penguasa,
QS. Al A’raf (7) : 172
b. Syahadah Uluhiyah yaitu : pengakuan loyalitas terhadap Allah sebagai satu-satunya supremasi yang boleh disembah dan ditaati, QS. Al A’raf (7) : 54
c. Syahadah risalah yaitu pengakuan terhadap diri Muhammad SAW sebagai utusan-Nya beliau adalah panutan terbaik bagi manusia,
QS. Al Ahzab (33) : 21
Referensi :
1. Syahadahmu syahadahku, paket BPNF
2. Memurnikan la ilahaa illallah, Mu Said Al Qathrani, M. Bin Abd. Wahhab, M Quthb
3. Pengantar Studi Aqidah Islam, Dr. Ibrahim Muhammad bin Al Buraikan
4. Ma’na Syahadah, Dr, Irwan Prayitno
5. Petunjuk Jalan Sayyid Quthb