Picture
Riset fisika, apalagi fisika dasar, selama ini dianggap tidak memiliki prospek ekonomis yang baik bagi penelitinya. Karena salah satu alasan itulah, hingga kini hanya segelintir orang yang tetap menekuni ilmu ”rumit” ini. Di antara mereka yang langka dan mampu mematahkan anggapan itu adalah Terry Mart, Ilmuwan Fisika Nuklir dan Partikel tingkat dunia. Menekuni bidang Fisika Nuklir dan Partikel Teoretis sejak 20 tahun lalu, Terry kini menjadi orang yang kaya ilmu dan dipandang oleh komunitas ilmuwan fisika di tingkat dunia. Kekayaannya itu terlihat pada makalahnya yang terbit di jurnal dan prosiding internasional, jumlahnya mencapai sekitar 100 makalah.

Dari paper internasional, yang dihasilkan rata-rata dua kali setahun, ia mendapat insentif dari Universitas Indonesia Rp 10 juta per makalah. Belum lagi tawaran dana penelitian dan penggunaan fasilitas riset dari perguruan tinggi asing.

Bila ditanya apa kiatnya bisa seproduktif itu? Kuncinya adalah kreativitas dan perhatian sepenuh hati pada ilmu yang ditekuni. ”Bila tiap hari kita memikirkannya, setiap kali pula muncul ide untuk mengembangkannya,” ujar Terry.

Di ruang kerjanya yang berukuran 4 x 3 meter ada seperangkat komputer yang bekerja 24 jam, melakukan komputasi ribuan data eksperimen yang kemudian dicocokkan dengan model yang dikembangkannya. Dengan menggunakan satu komputer, waktu yang diperlukan untuk memproses data mencapai 3 hingga 11 hari. Karena itu, ia bercita-cita memiliki 50 komputer yang bekerja paralel untuk mempercepat proses tersebut dan dengan jumlah data input yang jauh lebih besar.

Tiada hari tanpa penelitian

Prinsip tiada hari tanpa meneliti diterapkan bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga mahasiswa dan peneliti lain di kelompok Peminatan Fisika Nuklir & Partikel UI yang dipimpinnya sejak tahun 1998.

”Dengan begitu dapat tumbuh budaya riset, yaitu seorang dosen dan mahasiswa merasa malu dan ketinggalan jika tidak ikut melakukan penelitian. Saat ini di Jurusan Fisika sudah mulai mengarah ke situ,” urainya.

Namun bagi Terry, suasana kampus di Indonesia memang belum kondusif untuk kegiatan riset karena rendahnya proses kreatif, sikap santai, bahkan cenderung malas yang melekat di sebagian masyarakat kampus. Inilah yang menyebabkan terjadinya scientific decomposition atau pembusukan ilmiah.

Karena itu, secara periodik Terry harus ”menyetrum” kembali semangatnya dengan mengadakan penelitian di luar negeri. Ini dijalaninya selama tiga bulan setiap dua tahun.

”Bila ingin maju, peneliti ilmu dasar memang harus ’keluar’ dan bersaing dengan peneliti dunia lainnya. Jangan hanya bermain di tingkat nasional,” ujar salah satu pendiri Grup Fisika Teoritik di Indonesia pada tahun 2004 ini.

Baginya tidak sulit mendapat dukungan dana dari universitas terkemuka yang membuka peluang baginya melakukan kerja sama riset di luar negeri. Paling tidak ada lima universitas dari empat negara maju yang menerimanya sebagai peneliti tamu dan menanggung semua biaya riset dan perjalanan.

Meski penelitiannya kerap dilakukan di luar negeri, Terry sangat mencintai Indonesia sehingga tidak tebersit sedikit pun untuk hijrah ke negeri orang. Justru hasil penelitian di luar negeri menjadi ”oleh-oleh” untuk diteliti lebih lanjut para mahasiswanya menjadi bahan tesis.

Riset partikel kaon

Dari belantara ilmu pengetahuan masa depan, hingga kini yang secara intens dibidiknya sebagai fisikawan adalah partikel kaon yang berada dalam skala femtometer (femi), yaitu sama dengan 10 pangkat minus 15 meter atau perseribu nanometer. Perhatiannya pada partikel kaon yang disebut juga ”partikel aneh” ini dimulai tahun 1987 ketika ia menyusun skripsi sarjana.

Terobsesi pada kaon, putra guru Bahasa Inggris M. Yusuf Rahman ini berhasil menciptakan model produksi partikel kaon. Model itu kemudian dipasangnya dalam situs web sehingga peneliti dari seluruh dunia dapat mengacu pada model tersebut.

Kaon disebut partikel aneh karena bila diproduksi, partikel itu selalu berdampingan dengan hyperon. Dengan temuan partikel berukuran femi ini, memungkinkan partikel ini disusupi dalam nukleus atau inti atom. Dua sejoli partikel itu kini tengah dikembangkan untuk meneliti inti atom.

Sebenarnya dalam lingkup astronomi, ada tata surya yang disebut bintang netron yang juga tersusun oleh netron dan hyperon. Munculnya hyperon ini memungkinkan sebuah bintang dipadatkan dalam ukuran yang jauh lebih kecil namun berenergi sangat dahsyat. Fenomena ini dapat mengilhami pengembangan kaon-hyperon selanjutnya.

Sekarang ini, meski telah diteliti selama 20 tahun, belum terbayang pengembangan partikel kaon-hyperon ke arah komersial. Dunia saat ini masih pada tahap pengembangan teknologi nano untuk berbagai aplikasi. Misalnya, meningkatkan kualitas material melalui rekayasa struktur molekulnya dengan nanopartikel atau untuk mengatasi penyakit kanker berbasis rekayasa DNA (deoxyribose nucleic acid).

Penelitian kaon mulai dilakukannya ketika mengambil program doktor di Jerman. Namun kemudian ia mendapat peluang emas ketika Amerika Serikat mulai mengoperasikan Akselerator pada tahun 1996 untuk meneliti partikel asing itu. Ia menjadi salah satu orang pertama yang dapat memanfaatkan fasilitas canggih itu. Dalam ilmu partikel skala femi, nama Terry di dunia kini sangat dikenal sehingga ia kerap diundang sebagai pembicara tamu pada pertemuan ilmiah internasional di sejumlah negara.

Forschen und Lehren an den Grenzen des Wissens (meneliti dan mengajar di batas cakrawala pengetahuan). Slogan yang tertulis di gerbang masuk Universitas Mainz Jerman tempat Terry menimba ilmu itu selalu mencambuknya untuk selalu berkarya. Dia juga ingin para mahasiswa dan dosen serta peneliti lainnya juga terus berkarya. ”Kuncinya adalah pembenahan sistem pendidikan dan sistem penelitian,” kata Terry, yang sejak tahun lalu menjadi anggota Dewan Pendidikan Tinggi Indonesia.

Ia mengusulkan agar mata kuliah untuk mahasiswa tidak terlalu banyak, dosen harus doktor atau S-3, serta penelitian tak semuanya harus berorientasi aplikatif apalagi bernilai komersial. Ada penelitian tertentu yang memang untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Terry Mart lahir di Palembang 3 Maret 1965. Ia mengenyam pendidikan S1 di Universitas Indonesia lulus dengan cum laude pada 1988 dan mengambil S3 di Universitat Mainz, Jerman dan lulus cum laude pada 1996.

Pengalaman kerja Terry antara lain menjadi pengajar fisika di UI (1990-sekarang), Asisten peneliti Universitat Mainz (1996), Ketua Peminatan Fisika Nuklir & Partikel UI (1998-sekarang), Sekretaris program Studi Ekstensi Fisika UI (2002-2009), Peneneliti tamu di George Washington University, AS; Okayama University of Science, Jepang; Tohoku University, Jepang; Universitat Mainz, Jerman; Univeristy of Stellenbosch, Afrika Selatan.

Dalam berorganisasi, Terry menjadi Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Indonesia (2009-sekarang), Anggota Komite Pengarah Internasional IUPAP & Asia Pacific Few-Body Conference (2005-sekarang), Anggota Komite Seleksi Bersama Lembaga Pertukaran Akademik Jerman/DAAD (1998-sekarang), serta Editor dan Referee pada beberapa jurnal nasional dan internasional (2005-sekarang).

Selain itu, Terry pernah menerima penghargaan berupa Mahasiswa Teladan FMIPA UI (1987), Penghargaan publikasi internasional UI (1998-2010), Habibie Award (2001), Dosen berprestasi III UI (2004), Satyalancana Karya Satya 10 tahun (2007), Leading Scientist dari COMSTECH/Organisasi Konferensi Islam (2008), Ganesa Widya Jasa Adiutama ITB (2009), Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa dari Departemen Pendidikan Nasional (2009), dan Excellent Researcher dari SEA EU NET (2009).

Sumber: Kompas





Leave a Reply.